Senin 18 Jul 2016 18:35 WIB

'Vaksin Palsu Bentuk Kejahatan Bioterorisme'

Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek (kanan) saat melakukan peninjauan vaksinasi ulang di RSU Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, Senin (18/7).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek (kanan) saat melakukan peninjauan vaksinasi ulang di RSU Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, Senin (18/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan vaksin palsu merupakan bentuk kejahatan bioterorisme. Sehingga harus diusut tuntas oleh semua pihak. "Bioterorisme merupakan suatu tindakan disengaja dengan menggunakan bahan biologis, seperti kuman (virus, bakteri, dan parasit) dan bahan toksin," kata Ketua Avian Influenza Research Center (AIRC) Unair, Chairul Anwar Nidom MS di Surabaya, Senin (18/7).

Ia mengatakan tindakan bioterorisme ini untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, politik, budaya, baik dalam waktu singkat, menengah maupun jangka panjang. Sehingga tindakan vaksin palsu ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan bioterorisme.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair itu mengatakan tindakan bioterorisme lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan bahaya narkoba. Dia meminta pemerintah harus serius memberantas kejahatan ini.

Terkait kasus vaksin palsu ini, Chairul mengatakan tidak bisa hanya dilihat dari aspek kriminal biasa, maupun masalah kerugian ekonomi dari pihak-pihak yang terpengaruh. "Kasus vaksin palsu ini harus dikaji secara dalam, terkait isi vaksin palsu itu apa saja. Jika yang disuntikkan kuman atau bakteri, maka akan berdampak pada anak-anak hingga harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan," tuturnya.

Selain itu, lanjutnya jika vaksin yang disuntikkan pada warga berisi cairan biasa, maka masih diperbolehkan. Tetapi kalau ada kandungan lain dalam vaksin, seperti penggunaan kuman atau bakteri secara sembarang, maka perlu dicurigai. "Kalau ada vaksin berisikan kuman sembarangan, kemudian telah disuntikkan pada anak-anak, maka bukan hanya bahaya untuk anak yang divaksin saja, tetapi juga lingkungan karena timbul penyakit baru yang tidak terprediksikan," paparnya.

Ia mengatakan dampak vaksin palsu terhadap anak yang terpapar akan berbeda-beda tergantung kandungan di dalamnya. Sehingga harus ada keterbukaan pihak terkait untuk membuka atau mengurai isi vaksin palsu.

"Dampak terburuk jika vaksin palsu itu mengandung kuman, maka akan terjadi Alzheimer yakni penyakit sejenis sindrom dengan apoptosis sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan mengecil, juga gagal ginjal maupun gangguan liver," jelasnya.

Menurut dia, dampak terburuk itu akan terjadi tergantung pada kandungan vaksin palsu dan daya tahan tubuh anak tersebut. Dampak bagi anak yang terpapar vaksin palsu sama saja dengan tidak diberikan vaksin sama sekali. "Vaksinasi ulang tidak akan menyelesaikan persoalan vaksin palsu. Jadi vaksin palsu berbeda dengan gagal vaksin. Sehingga keterbukaan terkait kandungan isi vaksin palsu ini harus segera diurai," ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement