REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tewasnya pimpinan kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah, Santoso, tidak semata-mata bisa menghentikan aktifitas memusuhi thogut (istilah dalam agama Islam yang merujuk kepada setiap yang disembah selain Allah) dari para teroris. Faktor balas dendam juga harus diwaspadai dan perlu adanya deteksi dini dan aksi terus menerus.
Pemerintah dan aparat juga masih harus terus bekerja keras, khususnya yang berkaitan dengan Santoso. "Karena masih ada 18 sampai 20 orang anggota atau murid Santoso yang berkeliaran di hutan Poso, termasuk orang-orang Uighur," pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati kepada Republika.co.id, Ahad (24/7).
Saat ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki kepala yang baru yakni Komjen Pol Suhardi Alius. Nuning, sapaan akrabnya, yakin Suhardi mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Hal itu tak lepas dari pengalamannya di bidang reserse kriminal (reskrim).
"Tak melulu represif tapi juga menggunakan soft power atau persuasif. Terlebih dirinya kan juga terbiasa kerja sama dengan Densus 88," ujarnya.
Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus berjalan dalam konsep operasi militer selain perang (OMSP) seperti dalam Undang-Undang TNIHal tersebut dapat diaplikasikan dengan kerja sama yang baik dengan BNPT. "BNPT pun harus fokus juga pada pencegahan dan diberi penguatan hukum untuk pelaksanakannya. Jadi bukan saja penanggulangan," kata Nuning, sapaan akrabnya.