REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Polda Riau menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perkara kebakaran hutan dan lahan pada 2015 menuai kritikan dari berbagai pihak. Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan pihak-pihak yang tak setuju dengan SP3 tersebut bisa mengajukan praperadilan.
Boy mengatakan penghentian penyidikan salah satu perkara merupakan ranah dan kewenangan penyidik. Salah satu alasan yang digunakan karena penyidik menilai unsur pidaha dalam satu perkara tidak terpenuhi.
Sehingga menurut dia tentu saja penyidik sebelum memutuskan untuk menghentikan kasus tersebut telah lebih dulu dilakukan gelar perkara. Selain itu juga mengevaluasi alat bukti yang ada yang berhasil dikumpulkan oleh penyidik dalam kasus tersebut.
"Apakah alat Buktinya ini layak atau cukup untuk yang bersangkutan dipersangkakan atau tidak dan sebagainya. Jadi semuanya menjadi kewenangan dari penyidik yang ada di Polda Riau," jelasnya.
Sedangkan perihal pihak-pihak yang mengkritisi langkah Polda Riau menghentikan kasus, Boy menyarankan untuk melakukan praperadilan. Karena kata dia mengacu kepada hukum acara yang ada, melihat fakta-fakta hukum yang ada, dan apakah layak dengan alat bukti, ini bisa diajukan ke pengadilan.
"Ya kalau ingin menguji dari SP3 itu, kira-kira sah atau tidak menurut hukum, ada lembaga praperadilan dalam hukum acara pidana. Itu antara lain berkaitan dengan masalah SP3 dan salah tangkap juga bisa dipraperadilankan," katanya.
Boy sedikit menambahkan dalam proses penyidikan, polisi tidak bekerja sendiri. Ada tahap-tahap yang dilakukan oleh penyidik seperti melakukan konsultasi dengan pihak jaksa penuntut umum (JPU), atau Jaksa peneliti dari perkara tersebut.
"Jadi ini kan sudah berkaitan dengan kerjasama dalam wadah Criminal Justice system. Jadi kalau dalam proses pembahasan itu ternyata tidak kuat pidananya, penyidik bisa dimungkinkan untuk menghentikan," ujar Boy.