REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akhirnya memilih jalur partai politik untuk maju dalam Pilkada Jakarta 2017 sangat disayangkan. Sekalipun pilihan itu memiliki argumen kuat, namun hal tersebut dinilai hanya dalam kerangka pragmatisme politik semata.
"Artinya, secara pragmatis, pilihan maju melalui jalur Parpol itu akan memudahkan secara administratif, konsolidasi, pertahanan dan tentunya langkah-langkah politik setelah menang dalam pilkada," kata Direktur Eksekutif dari Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Kamis (28/7) malam.
Menurutnya politik bukan semata kalkulasi pragmatis melainkan juga berbicara soal etika dan cita-cita ideal. Memilih dan konsisten di jalur independen adalah langkah ideal untuk tujuan-tujuan yang ideal pula.
Misalnya, penguatan masyarakat sipil, mengeliminasi keangkuhan dan ketamakan partai, serta memberi dampak psikologis bagi masyarakat agar berani mengambil inisiatif.
Selain itu juga untuk mendorong calon pemimpin mereka dan memperlihatkan bahwa politik bukan sekadar urusan kalah dan menang, tapi juga soal konsistensi dan etika.
"Pilihan Ahok untuk maju melalui jalur partai dengan sendirinya akan berdampak pada menipisnya harapan untuk mewujudkan hal-hal ideal itu dalam politik," katanya.
Pilihan melalui jalur partai tidak dengan sendirinya mengalihkan dukungan relawan. Juga tidak dengan sendirinya membenarkan pilihan politik ini secara etik dan ideal.
Bangsa ini, kata Ray, membutuhkan contoh-contoh pemimpin yang kalkulasi politiknya bukan hanya sekadar kalah dan menang. Namun juga memberi teladan pada konsistensi, komitmen dan cita-cita ideal politik.
"Di wilayah inilah, pilihan Ahok akhirnya melalui jalur parpol, merupakan pilihan tidak bijak dan tidak tepat," ujar Ray.