REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pihak keluarga korban vaksin palsu menggugat RS Elisabeth Bekasi secara perdata ke PN Jakarta Pusat, hari ini (1/8). Menurut kuasa hukum pihak keluarga korban itu, Hudson Hutapea, ada lima pihak yang menjadi tergugat, yakni Menteri Kesehatan, BPOM, pemilik RS Elisabeth, Direktur Utama RS Elisabeth, dan dokter anak.
“Yang kita tuntut di sini adalah, pertama, supaya dicabut izin operasional Rumah Sakit Elisabeth. Kedua, supaya dicabut izin praktek semua dokter-dokter anak yang terlibat, termasuk Dirut. Itu kan dokter juga. Terakhir, kita menuntut gantu rugi materiil dan immateril,” ucap Hudson Hutapea saat dihubungi, Senin (1/8).
Ada 17 orang tua korban yang mendaftarkan gugatan perdata ini. Hudson merasa, RS yang beralamat di Kecamatan Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat, itu tak bertanggung jawab. Di samping itu, pihaknya mengaku kecewa dengan sikap Menteri Kesehatan Nila Moeloek.
Salah satunya, lanjut dia, pernyataan berulang kali Menkes bahwa vaksin palsu tak berbahaya bagi tubuh anak. Sebab, menurut Hudson, pernyataan itu tak didukung bukti ilmiah. Itu hanya berdasarkan ucapan lisan Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Hudson menegaskan, IDAI tak layak membuat rekomendasi karena tak memiliki laboratorium atau bukti hasil riset terkait vaksin palsu.
“BPOM pun belum melakukan uji sampling terhadap vaksin-vaksin. Terus apa dasarnya? Nah, saya mengecek data di WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), ternyata WHO tak merekomendasikan foster Hepatitis. Artinya, itu berbahaya. Harusnya dilakukan dulu cek, apakah PIN sudah masuk atau belum, baru dilakukan vaksinasi ulang,” jelasnya.
“Tampaknya mereka mau menyelesaikan ini dengan hanya menutup-nutupi dan saling melindungi. Dokter dijadikan acuan oleh Kemenkes, dan BPOM tak bisa melakukan apa-apa. Pertanyaannya, siapa yang akan melindungi anak-anak ini? Sepuluh, 20 tahun lagi? Generasi terancam tidak produktif.”