REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergantian susunan menteri dalam kabinet kerja pimpinan Presiden Jokowi tidak lantas mengurangi pekerjaan rumah yang harus digarap pemerintah. Salah satunya, proyek pembangkit listrik 35 ribu mega watt (MW) yang sejak awal ditargetkan bisa beroperasi pada 2019. Namun pascapergantian menteri, pembahasan soal megaproyek ini kembali muncul. Bisakah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mampu mengejar target pembangunan pembangkit listrik serta transmisi agar bisa segera melistriki masyarakat yang membutuhkan akses listrik?
Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menilai bahwa pemerintah harus mau menghadapi kenyataan bahwa saat ini sulit untuk memenuhi target pembangkit listrik 35 ribu MW pada 2019. Alasannya, pencanangan proyek 35 ribu MW awalnya dirancang dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6 hingga 7 persen. Dari angka pertumbuhan ekonomo tersebut, kemudian didapat proyeksi pertumbuhan kebutuhan listrik mencapai 7 ribu MW per tahunnya. Namun kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional masih di kisaran 5 persen dianggap bisa mengurangi proyeksi pertumbuhan listrik per tahun.
Tak hanya itu, Satya juga mengungkapkan masalah lain yang muncul adalah lamanya penandatanganan perjanjian jual beli listrik (PPA) antara PLN dengan pihak swasta. Hal ini dinilai tak lepas dari masalah klasik dalam membangun pembangkit dan transmisi listrik yakni masalah pembebasan lahan. Dengan kondisi ekonomi saat ini, ia melihat bahwa masalah lahan menjadi tantangan terbesar pemerintah dalam menarik investor. Investor, menurutnya, harus berpikir ulang ketika persoalan pembebasan lahan masih menjadi tugas mereka. Ia menilai seharusnya pembebasan lahan sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah, baru kemudian dibuka peluang bagi investasi untuk masuk.
"Konotasi untuk harus selesai 5 tahun harus kita akui tidak akan tercapai. Ini yang menurut saya harus jadi pehatian. Namun dengan semangat ini saya minta kepada menteri baru untuk tidak mengubah-ubah kebijakan (sebelumnya), untuk stabilitas juga," jelas Satya dalam sebuah diskusi di Dewan Pers, Ahad (7/8).
Direktur Pembinaan Program Kelistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Alihudin Sitompul menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan untuk merampungkan seluruh perjanjian jual beli listrik sebelum akhir tahun 2016 ini. Meski begitu, ia mengakui bahwa tidak mudah untuk membangun sebuah pembangkit listrik mengingat lamanya proses sejak PPA hingga bisa beroperasi. Ia mengambil contoh, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) saja bisa menelan waktu 4 tahun. Sedangkan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) butuh waktu paling tdiak setahun.
Kementerian ESDM mencatat, hingga Agustus tahun ini sudah ada 14 ribu MW kapasitas pembangkit yang PPA-nya sudah diteken. Sedangkan pembangkit yang telah masuk masa konstruksi mencapai 8.361 MW dan swasta sudah mulai membangun 8.450 MW. "Akhir tahun semua harus selesai. Kalau lihat sisi rentang waktu yang diperlukan utnuk bangun pembangkit yakni 4 tahun semestinya selesai akhir tahun ini sudah PPA semua. Ini target menteri," ujar Alihudin.
Sementara itu Anggota Dewan Energi Nasional Syamsi Abduh menyebut bahwa pihaknya akan memanggil Kementerian ESDM dan piahk lain yang terkait dalam proyek 35 ribu MW pekan ini untuk merumuskan langkah selanjutnya demi percepat pengerjaan proyek besar ini. DEN, lanjutnya, melihat bahwa ganjalan proyek listrik ini masih terdapat pada masalah pembebasan lahan dan penentuan harga jual listrik. Selain itu, DEN juga mencatat bahwa 59 persen dari lokasi pembangkit dan transmisi masih terkendala.
"10 Agustus depan ada rapat untuk minta komitmen berbagai pihak tadi," katanya.