REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri, TNI dan Badan Narkotika Nasional telah membentuk tim investigasi untuk menyelidiki pengakuan terpidana mati Freddy Budiman, seperti yang dituliskan oleh Koordinator Kontras Haris Azhar. Namun tim investigasi tersebut dinilai masih memiliki potensi benturan kepentingan yang cukup tinggi.
Menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Susanto Ginting, pembentukan tim tersebut seharusnya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres).
''Hal ini untuk meminimalisir potensi benturan kepentingan dan sebagai bukti komitmen Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan mafia Narkoba,'' ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (11/8).
Miko menambahkan jika pembentukan tim investigasi atau independen itu dilakukan Polri, TNI, dan BNN, maka benturan kepentingannya dinilai masih cukup tinggi. Termasuk dengan keraguan soal independensi dari tim bentukan tiga institusi tersebut.
''Karena ketiga institusi tersebut adalah pihak yang paling berkepentingan dari apa yang diungkapkan Haris Azhar. Kata kuncinya sebenarnya adalah independen. Pembentukan tim di bawah ketiga institusi itu diragukan independensinya,'' katanya.
Miko menambahkan, pembentukan tim investigasi yang berada langsung di bawah Presiden dapat menegaskan, Presiden tidak boleh lepas tangan dalam kasus dugaan adanya oknum penegak hukum yang terlibat dalam peredaran Narkoba.
''Presiden harus mendukung pemberantasan mafia Narkoba dan memberi jaminan proteksi bagi setiap warga negara yang ambil bagian dalam upaya pemberantasan mafia Narkoba itu,'' tutur Miko.
Sebelumnya, dalam kesaksiannya, Freddy Budiman mengaku membayar sejumlah uang kepada oknum personel Polisi dan BNN guna memuluskan bisnis narkoba yang dia jalankan. Tidak hanya itu, Freddy juga menyebut ada keterlibatan oknum perwira tinggi bintang dua TNI dalam peredaran narkoba.