REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melakukan pemantauan dan penyelidikan ke Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara, untuk menggali data, fakta dan informasi berkaitan dengan kasus kerusuhan berbau SARA di wilayah itu. Dari hasil penyelidikan ditemukan fakta bahwa terjadi distorsi informasi yang dilakukan dan disebarkan oleh oknum-oknum tertentu.
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan bahwa distorsi informasi tersebut dilakukan sebagai upaya provokasi untuk memancing amarah kelompok tertentu yang menciptakan kebencian atas dasar etnis dan agama.
"Kami menemukan fakta bahwa ada informasi yang didistorsi dan disebarkan oleh oknum tertentu sehingga menimbulkan aksi perusakan Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai," ujar Natalius di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (11/8).
Natalius menjelaskan, sekitar seminggu sebelum kejadian, seorang warga Tanjung Balai, Meliana, menyampaikan keberatan mengenai suara adzan dari Masjid Al-Makshum kepada tetangganya.
Keberatan itu pun disampaikan kepada Kasidi, seorang Nadzir Mesjid Al-Makshum dengan harapan bisa disampaikan ke pengurus masjid. Pada 29 Juli 2016, Kasidi menyampaikan keberatan Meliana kepada pengurus masjid. Beberapa pengurus pun mendatangi rumah Meliana untuk berdialog dan mengonfirmasi keberatan Meliana.
Natalius mengungkapkan sempat terjadi perdebatan dalam dialog tersebut. Dialog dan mediasi akhirnya dilanjutkan di kantor Kelurahan Tanjung Balai. Hasil dari dialog, Meliana meminta maaf atas keberatan yang dia sampaikan.
"Namun isu yang beredar saat itu bahwa ada warga etnis Tionghoa yang melarang Adzan dan mematikan speaker masjid," katanya.
Menurut Natalius keberatan yang disampaikan oleh Meliana tidak dimaksudkan untuk menyebar kebencian etnis dan agama. Apa yang disampaikan oleh Meliana, kata Natalius, merupakan kata-kata yang tidak memiliki tendensi negatif dan tidak didasarkan pada rasa kebencian terhadap agama tertentu.
Kerusuhan tersebut terjadi karena ada isu yang sengaja disebar oleh oknum tertentu untuk menciptakan konflik. "Keberatan Meliana tidak bertendensi negatif serta tidak didasarkan pada rasa kebencian," kata Natalius.
Akibat dari distorsi informasi tersebut, sekitar pukul 23.00 - 03.00 WIB massa yang berkumpul di sekitar rumah Meliana melampiaskan kemarahan dengan melakukan penyerangan, perusakan dan pembakaran terhadap rumah Meliana dan rumah ibadah. Akibatnya ada sekitar 15 bangunan yang mengalami perusakan dan pembakaran, terdiri dari Wihara, Klenteng, bangunan yayasan dan rumah pribadi.