REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar menjadi perhatian publik dalam beberapa hari terakhir. Ironisnya, kasus mantan Menteri ESDM itu terkuak menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia.
Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faisal Zaini meminta semua elemen bangsa menjadikan kasus Arcaandra Tahar, sebagai pelajaran berharga yang tidak boleh lagi terulang di masa yang akan datang.
Ia menilai, penunjukkan itu merupakan sebuah niatan yang jelas tidak baik, dan menekankan Indonesia tidak boleh kalah dengan kepentingan kelompok manapun.
"Ini pelajaran mahal bagi kita semua," ucapnya, Rabu (17/8).
Ia menjelaskan kasus itu sudah menabrak tiga Undang-Undang sekaligus, yaitu UU Kewarganegaraan, UU Kementerian dan UU Keimigrasian. Terlebih, lanjut Helmy, jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merupakan posisi yang sangat strategis dan akan menentukan nasib kekayaan Indonesia, sehingga tidak boleh dikuasai asing.
Untuk itu, ia mengapresiasi langkah yang diambil Presiden Joko Widodo, dan mendukung penuh keputusan pemberhentikan Archandra Tahar sebagai Menteri ESDM. Lebih lanjut, Helmy meminta pemerintah selaku penyelenggara negara tidak melakukan kesalahan yang sama, dan tidak lagi memberikan aspek-aspek strategis Indonesia ke tangan asing.
Senada, Wakil Ketua Umum PBNU, Maksum Machfoedz, mengaku dikejutkan dengan kasus Archandra Tahar, yang dianggap mengganggu stabilitas politik dan semangat nasionalisme.
Ia mengingatkan, founding father seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Hasyim Asyari dan Wahid Hasyim, mati-matian memperjuangkan identitas bangsa dan negara lewat kemerdekaan.
"Berpindah kewarganegaraan adalah ujung akhir dari kesetiaan kepada NKRI, oleh karenanya, setiap pejabat negara harus berkewarganegaraan Indonesia," ujarnya.