REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Bushra Alsayim telah tinggal di Sudan dan di luar negeri. Namun, ia masih menyimpan kenangan sebagai seorang pemuda di Khartoum. Ia ingat bagaimana ia kerap menghabiskan waktu pergi ke bioskop bersama kakak beserta istrinya serta adik perempuannya.
"Kami pergi ke bioskop. Film malam itu film India yang menggambarkan perjuangan seorang ibu demi anak-anaknya. Semua orang (di Sudan) membicarakannya (film)," kata Alsayim seperti dilansir Aljazirah, Sabtu (20/8).
Alsayim kemudian terdiam selama beberapa detik, tenggelam dalam kenangan malam itu pada 1968. Menurutnya, hal paling menyenangkan yang ia rasakan kala itu adalah mereka keluar sebagai saudara, sebagai sebuah keluarga.
"Bioskop yang membuatnya," kata Alsayim.
Namun industri perfilman di Sudan kian terpuruk. Kenangan akan hal tersebut memudar. Inilah yang mendorong sejumlah kelompok lokal meluncurkan inisiatif dengan harapan dapat memulihkan perfilman di dalam negeri.
Sejak awal abad 20, ketika Sudan di bawah kekuasaan Inggris, film berjaya di dalam negeri. Pada 1940, hampir setiap kota di negara itu memiliki setidaknya satu bioskop. Bioskop-bioskop itu memutar film seperti film India, Mesir, Amerika, dan Italia. Tak hanya itu mereka juga menampilkan berita dan iklan.
Pada 1950, pemerintah mendirikan Unit Perfilman Sudan. Layanan yang dikelola negara ini menghasilkan film-film mengenai peristiwa besar seperti kunjungan presiden dan proyek-proyek negara yang signifikan.
Wartawan Sudan Adol Ibrahim mengatakan dua dekade kemudian, pada 1970, di bawah pemerintahan mantan presiden Gaafar Nimeiry, Otoritas Bioskop Negara didirikan. Menurutnya, lembaga tersebut menggantikan Unit Perfilman di Sudan yang memegang kendali atas konten bioskop.
"Film yang menyebarkan gerakan pembebasan dan tren sosialis memiliki prioritas. Banyak pemilik yang tidak bebas menjalankan film sesuka mereka," kata Ibrahim kepada Aljazirah.
Pada 1990, Sudan mulai melalui era pan nasionalisme Arab, dan awal dari sebuah rezim sosialis. Negara mulai menekan film dengan konten yang lebih revolusioner. Pada tahun-tahun berikutnya, saat perang saudara di Sudan membawa korban pada perekonomian negara, bioskop menjadi barang mewah. Penonton menyusut, banyak masyarakat lebih fokus pada kebutuhan sehari-hari dibanding membeli tiket bioskop.
Kini, sebagian besar bioskop di Sudan telah tutup atau siap dijual. Namun, sebuah lembaga bernama Swiss Initiative, meluncurkan proyek di Sudan yang bertujuan merevitalisasi beberapa bioskop di negara itu. Asosiasi antara perusahaan patngan dan pembuat film Swiss serta dunia internasional ini akan segera memulai merenovasi biokop bersejarah di Khartoum.