REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pro dan kontra harga rokok membuat pemerintah belum memastikan besaran kenaikan harga rokok. Wacana yang berkembang di tengah masyarakat bahwa rokok bisa mencapai harga Rp 50 ribu per bungkus pun belum jelas.
Namun Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany mengatakan pemerintah harus tetap menaikkan harga rokok walaupun besarannya tidak sampai Rp 50 ribu. "Yang jadi masalah besar, //mindset di pemerintah tidak berani bertindak dan meyakini (kenaikan) itu. Saya sarankan harga rokok setiap tahun naik 20 hingga 30 persen," ujarnya Sabtu (27/8).
Dia menyebut dengan besaran persentase kenaikan itu sudah cukup bagus. Sampai tiga tahun kenaikan bisa hingga Rp 30 ribu sampai 40 ribu. Sehingga dalam tiga tahun ke depan pemerintah bisa medapatkan tamabahan dana mencapai Rp 200 triliun.
Dari hasil surveinya pada awal 2016 lalu, kalau harga rokok dinaikkan 10 persen, jumlah perokok hanya akan turun tiga persen. Kalau dinakkan 20 persen turunnya mencapai enam persen. "Akan tetapi dari penurunan perokok enam persen tersebut, dibandingkan dengan kenaikan harganya, tetap saja total pendapatan pemerintah dari kenaikan cukai rokok masih lebih tinggi," ujarnya.
Pada Desember 2015 hingga Januari 2016, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) melakukan survei dan riset terkait sampai di harga berapa orang Indonesia akan tetap membeli rokok. Survei ini dipimpin Hasbullah Thabrany. Hasil survei inilah yang menjadi rujukan pemerintah akan menaikkan harga rokok yang direncanakan Oktober mendatang.
Tujuan utama survei tersebut memberikan masukan ke pemerintah ada ruang fiskal yang bisa memberikan pemasukan lebih, bila harga rokok dinaikkan. Selain itu, survei ini juga mencari tahu bagaimana mengendalikan kebiaaan rokok di masyarakat. Melalui seberapa besar perokok aktif akan mengurangi merokok bila harga rokok dinaikkan hingga batas tertentu.