Ahad 04 Sep 2016 20:02 WIB

Menyoal Tato dan Rajah

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Agung Sasongko
Tato wajah
Foto: Dailymail
Tato wajah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tato seolah menjadi barang lumrah bagi kalangan wanita, terutama anak muda. Apakah tato dalam Islam diperbolehkan? Ada perbedaan ulama terkait tato atau rajah bagi tubuh.

Tato dalam bahasa Arab disebut al-wasymu, yaitu memasukkan jarum ke dalam tubuh (kulit) untuk memasukkan zat yang berwarna sehingga timbul suatu gambar yang diinginkan pada tubuh (kulit) itu.

Definisi ini dicetuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dalam keterangannya, tujuan membuat tato di badan agar yang ditato merasa dirinya dalam keadaan tertentu sesuai dengan keinginannya. Majelis Tarjih menghukumi tato sebagai semacam perhiasan.

Secara umum, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, hukum tato mubah jika termasuk perhiasan. Dasarnya Allah membolehkan seseorang memakai atau membuat perhiasan di badannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS al-Kahfi [18]: 7).

Berhias juga dianjurkan, seperti dalam firman Allah SWT, “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rezeki yang baik.’ Katakanlah; ‘Semuanya itu disediakan bagi orang-orang yang beriman (dan tidak beriman) dalam kehidupan dunia, semata-mata bagi orang yang beriman di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui’.” (QS al-A’raf [7]: 32).

Akan tetapi, jika tato yang sering dijumpai saat ini berakibat negatif, seperti dapat merusak iman dan akhlak, hukumnya dapat berubah menjadi makruh atau haram. Ada sebuah kaidah hukum fikih yang mengatakan, “Hukum itu mengikuti ilat (sebabnya). Baik keberadaan maupun ketiadaannya”. Artinya, ada sebab muncul hukum, tidak ada sebab tidak ada hukum.

Jadi, menurut Majelis Tarjih, tato yang sering digunakan wanita-wanita Arab seperti hyena untuk berhias hukumnya mubah. Namun, jika tato kebanyakan seperti sekarang ini—termasuk dalam kasus tato Hello Kitty—yang menyebabkan kerusakan akhlak, hukumnya minimal makruh atau bisa jadi haram. Tato yang berkembang saat ini juga digolongkan Majelis Tarjih sebagai persoalan masyarakat.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan, fatwa mengenai tato di atas masih berlaku sampai sekarang. Belum ada revisi dan pembaruan fatwa. “Fatwa sifatnya berlaku sampai ada fatwa baru,” katanya kepada Republika, Rabu (25/2).

Sementara itu, Lajnah Daimah Kerajaan Arab Saudi dengan tegas mengharamkan segala jenis tato. Dasarnya adalah larangan tato dari Rasulullah SAW. “Rasulullah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya, wanita yang memasang tato, dan yang minta ditato.” (HR Bukhari). Jika ia bertobat dan menyadari kesalahannya, Lajnah Daimah berpendapat, tato tersebut tidak menghalangi seseorang menunaikan ibadah haji meski tidak menghilangkan tatonya.

Sementara, Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berpendapat, jika memungkinkan dihilangkan dengan pengobatan, tato wajib dihilangkan. Jika tidak memungkinkan kecuali dengan melukai bagian itu dan khawatir kehilangan anggota badan atau terjadi hal yang parah di anggota badan, maka tidak wajib menghilangkannya. Jika ia bertobat, tidak ada dosa atasnya. Jika ia tahu dan menunda menghilangkannya, dia dianggap bermaksiat baik laki-laki maupun perempuan.

Menurut pendapat Imam Nawawi tadi, golongan tato temporer juga wajib dihilangkan. Karena, tato temporer mudah dihilangkan tanpa harus melukai tubuh. Allahu a'lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement