REPUBLIKA.CO.ID, Panggilannya Vito. Usia remaja mungil ini baru saja beranjak 15 tahun. Ia duduk di kelas tiga, sekolah menengah pertama (SMP) di Jakarta Selatan.
Namun jangan salah, Vito sudah tak asing lagi dengan yang namanya rokok. Ia telah mencicipi rokok sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Pertama kali coba kelas 6 SD. Gara-gara lihat teman-teman pada merokok, jadi ikutan. Sampai sekarang keterusan,” ujar Vito pada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.
Pelajar ini mengungkapkan, guru dan orang tuanya tidak tahu ia merokok. Vito pun yakin orang tuanya akan marah jika mengetahui dirinya merokok.
Vito mengaku kerap patungan dengan teman-temannya, karena uang sakunya yang Rp 15 ribu perhari tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok. “Saya biasanya merokok saat lagi nongkrong sama teman-teman. Makanya beli rokoknya patungan. Kalau enggak, ya beli batangan,” ujarnya melanjutkan.
Pelajar SMP lainnya, Hakam (16), mengaku bahwa ia biasa membeli rokok di warung-warung yang dekat dengan tempat kumpulnya. Akses yang mudah dan harga yang murah membuat banyak pelajar SMP menjadi perokok aktif.
“Sekarang gampang beli rokok di warung. Dulu sih suka ditanya ‘buat siapa rokoknya?’, saya bilang aja buat bapak,” ujar Hakam. “Sekarang kalau mau beli rokok, ya beli aja enggak ditanya apa-apa. Pedagangnya sih cuma mikirin untung,”
Baca juga, Merokok Adalah Perangkap Kemiskinan.
Hakam mengaku jika harga sebungkus rokok menjadi Rp 50 ribu, ia akan berhenti merokok, “Kalau harganya semahal itu, ya kayaknya saya bakal berhenti merokok,” ujarnya.
Jumlah perokok di kalangan remaja Indonesia terbilang cukup tinggi, menurut laporan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2014.
Penelitian GYTS terhadap 5.986 remaja di Indonesia dengan rentang umur 13 hingga 15 tahun menunjukkan bahwa 19,4 persen remaja laki-laki dan perempuan adalah perokok aktif. Sebanyak 35,3 persen remaja laki-laki, sementara perempuan hanya 3,4 persen. Harus diakui salah satu mengapa anak-anak merokok yakni karena mudahnya mengakses barang berbahaya itu.