REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika mengungkapkan sebanyak 22 titik panas mengepung Sumatera dengan tingkat kepercayaan kebakaran hutan dan lahan lebih dari 50 persen.
"Titik panas di Sumatera, masih bersifat fluktuatif pekan ini. Kemarin terdeteksi 36 titik, sore ini jadi 22 titik," kata Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Pekanbaru Slamet Riyadi di Pekanbaru, Kamis (8/9).
Ia memaparkan itu setelah melihat sebaran titik panas di Sumatera berdasarkan rilis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dari pantauan sensor modis pada citra satelit milik NASA yakni Aqua dan Terra.
Hal tersebut, katanya, diakibatkan musim kemarau basah yang terjadi di sejumlah provinsi terutama pada bagian Barat dari Sumatera seperti Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Jambi.
Hujan intensitas ringan hingga sedang berpotensi terjadi setiap hari dan diperkirakan sampai akbir pekan ini. Contoh di Riau, kata dia, hampir sebagian besar wilayah provinsi itu berpotensi dilanda hujan baik pada pagi, siang atau malam hari.
Akibatnya, lanjut Slamet, wilayah daratan di Riau sekitar 49 persen atau 4,36 juta hektare dari luas total 8,9 juta hektare di provinsi tersebut berlahan dan berhutan gambut masih aman dari bahaya karhutla. "Sore ini, satelit tidak temukan titik panas atau dinyatakan nihil di Riau," bebernya.
"Ke-22 titik panas tersebut terdeteksi oleh satelit berada di Bangka Belitung 13 titik, di Sumatera Selatan enam titik, di Bengkulu dua titik dan Jambi satu titik," terang Slamet.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kemarin, meminta agar pemerintah daerah bergerak cepat dalam mengambil keputusan untuk mencegah serta memadamkan kebakaran hutan dan lahan.
Dia mengintruksikan, pemerintah daerah bergerak tanpa menunggu keputusan pusat. Saat menemukan tiik api di hutan atau lahan, maka kepala daerah diwajibkan segera mengeluarkan status darurat bencana. "Sampaikan itu (darurat bencana) sesegera mungkin ke BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) atau Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup," katanya.
Laporan itu, lanjutnya, bertujuan untuk mencairkan dana bantuan pemadaman kebakaran hutan dan lahan dari pemerintah pusat. Sebab, kendala memadamkan kebakaran hutan terbesar selama ini adalah ketiadaan anggaran.
Ia yakin kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah, jika pemerintah daerah berinisiatif untuk bergerak cepat dalam hal pemadaman. "Harusnya, begitu ada satu titik api bisa segera dipadamkan. Tapi kami pernah bertemu gubernur Riau dan ia mengaku selama ini tak punya pos anggaran," ujarnya.
Ia juga memina, agar pemerintah daerah lebih tegas dalam memberi sanksi kepada pengusaha yang terbukti membakar lahan. Selain itu, harus ada konsekuensi dari pembukaan lahan industri baru. "Setidaknya pembukaan satu hektare hutan tanaman industri harus digantikan dengan satu hektare hutan alam," kata Tjahjo.