REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musim kemarau basah tidak membuat kebakaran hutan dan lahan di Sumatra serta Kalimantan berkurang. Hal ini akibat masih adanya pembakaran dengan sengaja untuk pembukaan kebun dan pertanian, baik lahan di konsensi maupun lahan milik masyarakat.
Satelit MODIS dengan sensor Terra Aqua milik NASA mendeteksi 260 titik panas (hotspot) di Indonesia, di mana 80 titik panas di Kalimantan Barat dan 66 titik panas di Kalimantan Tengah. Jumlah titk panas ini jauh lebih sedikit dibandingkan pola titik panas normal.
"Memang tidak mungkin menihilkan hotspot di seluruh wilayah Indonesia selama setahun karena terkait dengan perilaku dan kebiasaan membakar, baik di lahan gambut maupun mineral," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Kamis (15/9).
September adalah puncak musim kemarau yang umumnya diikuti dengan meningkatnya jumlah hotspot. Cuaca yang kering menyebabkan hutan dan lahan mudah dibakar.
Secara umum, jumlah titik panas hingga September 2016 ada penurunan 60 persen dibandingkan jumlah titik panas tahun 2015. Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 adalah bencana asap yang paling besar karena membakar 2,61 juta hektare hutan dan lahan serta menyebabkan kerugian ekonomi Rp 221 triliun rupiah.
Luas hutan dan lahan yang terbakar serta dampak kerugian ekonomi yang terjadi pada tahun 2016 ini belum dilakukan perhitungan. "Yang pasti luas dan kerugian ekonomi jauh lebih kecil dibandingkan tahun 2015 lalu," kata dia.
Strategi untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan dilakukan melalui operasi darat dan operasi udara. Operasi pemadaman di darat dikerahkan 22.107 personel gabungan dari TNI, Polri, BNPB, BPBD, Manggala Agni, Damkar dan Masyarakat Peduli Api. Sebaran personel satgas darat ini adalah Riau (3.849 personel), Jambi 5.209 personel, Sumatera Selatan 5.619 personel, Kalimantan Barat 2.492 personel, Kalimantan Tengah 2.363 personel dan Kalimantan Selatan 2.575 personel.