Senin 19 Sep 2016 13:48 WIB

Giliran Mahasiswa dan Nelayan yang Somasi Luhut

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Ilham
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (kedua kiri) bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan) memberikan keterangan kepada awak media seusai melakukan pertemuan tertutup di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (kedua kiri) bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan) memberikan keterangan kepada awak media seusai melakukan pertemuan tertutup di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik seputar reklamasi Teluk Jakarta terus memanas sejak Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) Luhut Binsar Pandjaitan memutuskan untuk melanjutkan proyek bernilai ratusan triliun rupiah itu, beberapa waktu lalu. Hari ini, sejumlah nelayan Jakarta bersama Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia mendatangi Istana Negara untuk menyampaikan penolakan mereka atas keputusan kontroversial sang menteri.

"Kami bersama nelayan menyampaikan somasi terbuka ke Menko Luhut terkait kebijakannya meneruskan reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya Pulau G," ujar Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia, Bagus Tito Wibisono, di Jakarta, Senin (19/9).

Dia mengatakan, pengawalan isu reklamasi teluk Jakarta secara konsisten dilakukan BEM Seluruh Indonesia, khususnya BEM di wilayah Jabodetabek-Banten. Siang ini, mahasiswa bersama para nelayan kembali menyuarakan kekecewaan mereka atas pernyataan Luhut yang menyebutkan bahwa tidak ada kesalahan dalam reklamasi Pulau G, sehingga proyek tersebut tetap dilanjutkan. Padahal, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah memutuskan pembangunan Pulau G harus dihentikan karena terbukti membawa masalah sosial dan ekologi.

Putusan majelis hakim PTUN Jakarta pada akhir Mei lalu menyatakan, surat keputusan (SK) gubernur DKI Jakarta yang memberi izin reklamasi Pulau G terbukti melanggar pasal 30 ayat (1) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Reklamasi Pulau G melanggar prosedur formal karena tidak melibatkan masyarakat terdampak dan pemerhati lingkungan dalam penerbitan izinnya.

Di samping itu, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk proyek tersebut disusun tanpa adanya penetapan wakil masyarakat. Majelis hakim PTUN Jakarta pun menyatakan SK Gubernur DKI tentang Izin Reklamasi Pulau G cacat hukum, karena tidak mencantumkan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diubah dengan UU No 1 Tahun 2014.

SK tersebut juga tidak sah, karena diterbitkan tanpa adanya Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai dasarnya. Pemprov DKI Jakarta juga dinilai melanggar asas kecermatan, asas ketelitian, dan asas kepastian hukum yang menjadi bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), karena tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang seharusnya dijadikan rujukan dalam penerbitan izin reklamasi.

Atas dasar fakta tersebut, kata Bagus, BEM Seluruh Indonesia menolak dengan tegas reklamasi Teluk Jakarta, karena urgensi dan peruntukannya bukan untuk rakyat kecil. "Kami juga memberikan mosi tidak percaya kepada Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menko Maritim hasil reshuffle, karena terindikasi melegalisasi proyek reklamasi yang telah dibatalkan," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement