Kamis 29 Sep 2016 03:43 WIB

Legalitas Dana Repatriasi Amnesti Pajak Dipertanyakan

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Dwi Murdaningsih
Warga melintas di jembatan penyebrangan orang (JPO) yang terpasang spanduk sosialisai pengampunan pajak di kawasan Stasiun Gambir, Jakara, Ahad (31/7).  (Republika/ Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga melintas di jembatan penyebrangan orang (JPO) yang terpasang spanduk sosialisai pengampunan pajak di kawasan Stasiun Gambir, Jakara, Ahad (31/7). (Republika/ Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sidang lanjutan atas gugatan terhadap Undang-Undang nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak kembali digelar di Mahkamah Konstitusi. Sidang kali ini mendatangkan dua saksi ahli dari pihak penggugat yakni pakar hukum perdagangan internasional Muhammad Reza Syarifuddin Zaki dan peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Salamuddin Daeng.

Dalam sidang lanjutan ini, Salamuddin kembali mempertanyakan legalitas dana yang mengalir ke dalam negeri atau dana repatriasi hasil dari pengampunan pajak. Alasannya, dana yang sempat mengendap di luar negeri tersebut tidak memiliki asal usul yang jelas. Ia menilai ada peluang bahwa dana repatriasi tersebut berasal dari tindakan kejahatan korupsi, perjudian, pencucial uang, atau perdagangan manusia.

""Dengan tax amnesty, negara seolah melegalisasi dana-dana ini untuk masuk ke Indonesia. Itu berarti uang ilegal masuk ke sini," kata Salamuddin, Rabu (28/9).

Salamuddin juga menyebutkan bahwa kebijakan amnesti pajak bermula dari ambisi pemerintahan Presiden Jokowi untuk membangun infrastruktur namun terganjal penerimaan pajak yang selalu di bawah target. Salamuddin yang membela kaum buruh melanjutkan, meski secara fakta pemerintah sedang kekurangan uang, namun tetap saja berambisi melakukan berbagai target pembangunan ditambah lagi program pengampunan pajak yang ambisius pula.

Salamuddin juga mempertanyakan data perolehan amnesti pajak yang dirilis Kementerian Keuangan yang dianggap janggal. Ia menilai, tidak mungkin dana repatriasi bisa terkumpul Rp 128 triliun hanya dalam waktu dua bulan. Belum lagi, uang tebusan hingga sore ini terkumpul Rp 84,5 triliun dan dana deklarasi sebanyak Rp 2.514 triliun. Belum lagi, lanjutnya, dengan target uang tebusan Rp 165 triliun maka pemerintah menaksir adanya harta dan aset wajib pijak di luar sebesar Rp 8 ribu triliun. Angka ini ia pertanyakan kebenarannya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto yang hadir mewakili pemerintah menepis anggapan bahwa amnesti pajak begitu saja melegalkan aliran dana hasil penghindaran pajak untuk masuk ke Indonesia. Handiyanto menjelaskan, kebijakan amnesti pajak mengampuni sanksi administrasi, utang, dan pidana perpajakan dengan mekainisme uang tebusan.

"Tercermin dalam dashboard. Makanya saya minta cabut kembali statement kebohongan itu. Karena ada resiko hukumnya kalau nuduh tidak ada ini (bukti) -nya," ujar Hadiyanto.

Sedangkan dipandang dari keadilan untuk seluruh wajib pajak, Hadiyanti menjelaskan bahwa UU Pengampunan Pajak menyasar semua ukuran wajib pajak baik besar atau kecil. Ia menyebutkan bahwa fakta di lapangan tidak semua orang membayar pajak dengan tertib sehingga amnesti pajak adalah kesempatan bagi wajib pajak untuk melaporkan harta mereka tanpa dipidanakan.

"Semua orang tidak ada diskriminasi. Tidak ada sama sekali. Semua WNI berhak mengikuti amnesti pajak," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement