Selasa 04 Oct 2016 03:00 WIB

Setelah Kerusuhan Myanmar, 70 Keluarga Muslim Masih Tunawisma

Rep: Rr Leany Sulistywati/ Red: Agung Sasongko
Muslim Rohingya
Foto: Republika
Muslim Rohingya

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Lebih dari tiga tahun setelah rumah dan properti dihancurkan massa dalam kerusuhan anti-Muslim di Meikhtila, Myanmar, ternyata masih banyak Muslim yang belum bisa kembali ke rumah masing-masing.

Kelompok nasionalis menentang para Muslim kembali menyusul kekerasan pada 2013 antara yang mengakibatkan puluhan orang tewas dan ribuan orang mengungsi. Pengacara Aung Thein yang merupakan juru bicara Jaringan Persahabatan Antar Agama di Meikhtila mengatakan, sedikitnya 70 keluarga Muslim masih tunawisma.

"Sejak otoritas menutup kamp awal tahun ini, mereka (Muslim) telah berlindung di biara-biara dan taman bermain di kota," kata Aung Thein melalui telepon kepada Anadolu Agency pada Senin (3/10).

Dia menambahkan para keluarga Muslim telah mencoba untuk kembali ke rumah mereka selama bertahun-tahun, tapi pemerintah tidak menerima permintaan mereka, sama halnya dengan kelompok nasionalis lokal yang menentang langkah itu.

Meikhtila adalah wilayah adanya asosiasi yang dipimpin biksu nasionalis untuk Perlindungan Ras dan Agama (lebih dikenal sebagai Ma Ba Tha).

Selama bertahun-tahun, retorika anti-Muslim dari kelompok, khususnya dari tokoh Biksu Wirathu yang terlihat sengaja memicu api kebencian agama terhadap umat Islam di negara itu. Wirathu menyalahkan mereka atas konflik komunal, dan menuduh mereka mencoba untuk mengislamkan negara dengan penduduk 57 juta orang itu.

"Sekarang banyak dari mereka (penduduk Muslim) mencoba untuk menjual tanah dan properti mereka untuk pindah ke tempat lain," ujar Aung Thein.

Pada 20 Maret 2013, massa menghancurkan toko emas menyusul perdebatan antara pemilik toko emas keluarga Muslim dan pelanggan Buddhis terkait jepit rambut emas. Polisi berusaha membubarkan massa, namun situasi menjadi tidak terkendali setelah seorang biarawan tewas dan dibakar hidup-hidup hari itu.

Situasi dengan berujung pada pertumpahan darah, pembakaran, dan penjarahan selama tiga hari yang membuat 43 jiwa tewas, sebagian besar dari mereka Muslim, rumah dibakar, dan sekitar 12.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Pada hari Senin, kepala biara Meikhtila Yadanar Oo, Withuda bersimpati pada penderitaan masyarakat Muslim. Ia mengatakan kepada Anadolu, ketidakpercayaan masih tetap terjadi antara kedua kelompok.

"Muslim masih merasa tidak aman di sini. Karena itu mereka pindah ke kota-kota lain, sementara beberapa orang pindah agama ke Buddha," kata dia.

Pada tahun 2013, Withuda mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan sekitar 700 Muslim yang bersembunyi di biara selama kerusuhan. Saat itu perusuh berkumpul di luar. "Saya mengatakan kepada para perusuh bahwa jika Anda ingin membunuh mereka, Anda harus membunuhku dulu.  Aku harus memberanikan diri untuk menyelamatkan nyawa."

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement