Senin 19 Dec 2016 20:00 WIB

Malaysia: Upaya Membuka Akses ke Muslim Rohingya Berjalan Lambat

Gambar citra satelit kondisi desa-desa di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang dihuni oleh etnis Muslim Rohingya, pada November 2016.
Foto: Human Rights Watch
Gambar citra satelit kondisi desa-desa di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang dihuni oleh etnis Muslim Rohingya, pada November 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Malaysia, Senin (19/12) mengatakan, krisis yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar adalah masalah kawasan. Sehingga Asosiasi Negara Asia Tenggara (ASEAN) mesti ikut menyelidiki dugaan kejahatan yang menimpa mereka.

"Anggota ASEAN juga perlu terlibat membantu mengirim bantuan kemanusiaan," kata Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman.

Anifah mengatakan, upaya membuka akses hak asasi manusia untuk masyarakat Rohingya di Rakhine berjalan cukup "lambat". Bahkan oknum tertentu dikabarkan masih menangkap warga secara paksa, melakukan eksekusi di luar pengadilan, serta memerkosa para perempuan Rohingya.

"Kami yakin krisis itu adalah masalah kawasan, sehingga mesti diselesaikan bersama," kata Anifah dalam pertemuan bersama perwakilan negara ASEAN di Yangon.

Pernyataan itu tertuang dalam transkrip pidato yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri Malaysia. Rohingya adalah suku minoritas yang sebagian besar anggotanya menganut agama Islam, dan banyak menghuni wilayah Rakhine, Myanmar Barat.

Krisis Rohingya dipicu penolakan pemerintah Myanmar mengakui kewarganegaraan suku tersebut, padahal mereka cukup lama menjadi penduduk Rakhine, kata pegiat HAM Amnesti Internasional dalam lamannya.  Sebanyak 140 ribu orang Rohingya diperkirakan terusir pada 2012, dan sekitar 86 ribu warga terpaksa menempuh jalur berbahaya untuk mengungsi di negara tetangga, tambahnya.

Pegiat "Human Rights Watch" (HRW) 13 November lalu menyiarkan seperangkat bukti penyiksaan dilakukan militer ke desa yang dihuni warga Rohingya. Bukti itu dianalisis dari sejumlah gambar satelit yang mengindikasikan petugas membakar 1.500 bangunan di wilayah tersebut.

Namun pemerintah melalui kanal medianya kerap menyangkal dan "memutarbalik" temuan tersebut, bahkan memperingatkan aksi aktivis yang kerap mengkritisi pemerintah, kata David Scott Mathieson, peneliti senior HRWwilayah Asia dalam laman pegiat tersebut.

"Pemerintah justru menyatakan kebakaran disebabkan masyarakat Rohingya sendiri, bahkan ada pejabat yang mengatakan petugas tidak mungkin memperkosa perempuan Rohingya karena mereka 'kotor'," ucap dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement