REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite IV DPD RI kembali melanjutkan agenda pendalaman terkait kajian atas penundaan Dana Alokasi Umum (DAU). Hal tersebut juga merupakan bagian dari dana transfer daerah.
"Kami ingin perdalam dana transfer daerah karena secara komulatif dana ini lumayan besar," ucap Ketua Komite IV DPD Ajiep Padindang, saat RDP di Gedung Komite IV, Jakarta, Selasa (4/10).
Menurutnya, pada dasarnya DPD sangat mengapresiasi langkah pemerintah karena telah meningkat tiap tahunnya DAU dan DAK. Secara faktual, 70 persen anggaran masih dikendalikan oleh pusat. "Karena belanja baik jurlak dan juknis masih di transfer melalui tahapan kecuali DAU. Maka kami fokus terhadap DAU," kata Ajiep.
Ia menambahkan, pada tahun 2016 pemerintah telah menunda 196 kabupaten/kota selama empat bulan terkait dana transfer. DPD RI memandang hal tersebut apa yang dilkukan pemerintah tidak cukup beralasan. "Pemerintah telah melecehkan daerah karena ini merupakan hak daerah terhadap fiskal daerah. 70 persen hingga 80 persen dana itu digunakan untuk belanja pegawai," kata Ajiep.
Kedepan, lanjut Ajiep, Komite IV juga akan mengeluarkan pertimbangan untuk pemerintah. Setidaknya, pada 2017 nanti pemerintah tidak mengulangi kembali pemotongan tersebut.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Ikhsan Modjo, mempertanyakan adanya pemotongan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah, karena hal itu bertentangan dengan konstitusi. "Hemat saya, pemerintah tidak memiliki kewenangan memotong DAU, menunda atau menghemat. Yang mana mekanisme pemotongan kali ini bisa dibilang inkostitusional dalam UUD 45 yang jelas-jelas pada pasal 21 dan 23C harus ada persetujuan dari DPR RI dan menerima masukan dari DPD RI,” ujar dia.
Ikhsan menambahkan, hal ini tidak bisa menggunakan Inpres atau PMK. Mekanisme yang diambil oleh pemerintah dalam melakukan perubahan APBN yang kedua tidak melalui mekanisme APBNP. “Jadi ini lucu. Surat edaran menteri, PMK dan Inpres bisa tidak melanggarUU karena APBN ini ditetapkan oleh undang undang. Karena apapun logika nya tetap hukum nya berbenturan” katanya.
Ia menambahkan, permasalahan DAU yang pertama adalah secara hukum, besaran dan formula nya ditetapkan melalui UU No. 32 tahun 2004 mengenai keuangan daerah. Secara logika, PMK tidak bisa menganulir atau mengubah sesuatu yang diatur oleh UU. “Ini sudah menabrak Konstitusi, UU APBNP dan UU No. 32. Ini pemotongan DAU inkonstitusional sudah tidak benar,” kata Ikhsan.