REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gontor, adalah sebuah desa pada 3 km sebelah timur Tegalsari dan 11 km ke arah tenggara dari Kota Ponorogo. Namun, selama hampir satu abad, Indonesia, bahkan dunia, lebih mengenal nama daerah ini sebagai salah satu sebutan pesantren terkenal yang melahirkan alumni tangguh dan tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan mancanegara.
Mengutip laman resmi gontor.ac.id, perjalanan panjang Pondok Modern Darussalam Gontor bermula pada abad ke-18. Pondok Tegalsari sebagai cikal bakal Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan oleh Kiai Ageng Hasan Bashari. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini.
Saat pondok tersebut dipimpin oleh Kiai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putra Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kiainya dan Kiai pun sayang padanya.
Maka, setelah santri Sultan Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia dinikahkan dengan putri Kiai dan diberi kepercayaan untuk mendirikan pesantren sendiri di Desa Gontor.
Dengan bekal awal 40 santri, Pondok Gontor yang didirikan oleh Kiai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putra beliau yang bernama Kiai Anom Besari. Ketika Kiai Anom Besari wafat, pondok diteruskan oleh generasi ketiga dari pendiri Gontor lama dengan pimpinan Kiai Santoso Anom Besari.
Setelah perjalanan panjang tersebut, tibalah masa bagi generasi keempat. Tiga dari tujuh putra-putri Kiai Santoso Anom Besari menuntut ilmu ke berbagai lembaga pendidikan dan pesantren, dan kemudian kembali ke Gontor untuk meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Gontor.
Mereka adalah KH Ahmad Sahal (1901-1977), KH Zainuddin Fanani (1908-1967), dan KH Imam Zarkasyi (1910-1985). Mereka memperbarui sistem pendidikan di Gontor dan mendirikan Pondok Modern Darussalam.
Pada saat itu, jenjang pendidikan dasar dimulai dengan nama Tarbiyatul Athfal. Kemudian, pada 19 Desember 1936 yang bertepatan dengan 5 Syawal 1355, didirikanlah Kulliyatu-l-Muallimin al-Islamiyah, yang program pendidikannya diselenggarakan selama enam tahun, setingkat dengan jenjang pendidikan menengah.
Dalam perjalanannya, sebuah perguruan tinggi bernama Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) didirikan pada 17 November 1963 yang bertepatan dengan 1 Rajab 1383. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD), yang selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID). Sejak 1996, ISID telah memiliki kampus sendiri di Demangan, Siman, Ponorogo.
Dalam Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, dijelaskan penamaan Modern diberikan oleh seorang romo dari pastoran Madiun yang terkesan dengan pengelolaan pondok yang dilengkapi fasilitas dan metode pengajaran modern. Kesan mendalam itu ia sebarkan sehingga pondok di desa terpencil tersebut populer sebagai pondok modern.
Pondok Modern Gontor, yang didirikan pada 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345, dalam peringatan Maulid Nabi. Pada awalnya, Pondok Modern Gontor bernama Balai Pendidikan Darussalam.
Pondok Modern Gontor didirikan oleh kakak beradik KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fanani, dan KH Imam Zarkasyi. Trio ini disebut Trimurti. Mereka mampu menggagas sebuah sistem pendidikan pesantren yang sangat maju pada masanya. Saat KH Imam Zarkasyi wafat, banyak yang khawatir pondok ini akan memudar karena para pendirinya telah tiada.
Namun, penerus mereka, KH Shoiman Luqmanul Hakim, KH Hasan Abdullah Sahal, dan KH Abdulah Syukri Zarkasyi tetap mampu mempertahankan keutuhan pondok dan menjadikannya lebih berkembang.