REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Banyak dari 410 pencari suaka, yang ditahan di pulau kecil di Kepulauan Pasifik, terdorong melakukan bunuh diri agar terlepas dari keadaan mirip penjara di pusat penahanan tanpa batas waktu, kata kelompok hak asasi manusia, Senin (17/10).
Pusat penahanan itu dibuat atas nama Australia, kata Amnesti Internasional, Senin. Berdasarkan atas kebijakan keras imigrasi Australia, pencari suaka, yang dicegat saat mencoba memasuki negara tersebut dengan kapal, dikirim ke penampungan di Nauru atau Pulau Manus di Papua Nugini dan tidak layak dimukimkan di Australia.
"Saya bertemu dengan anak-anak berumur sembilan tahun, yang sudah mencoba mengakhiri hidupnya. Orang tua mereka bicara soal menyembunyikan segala sesuatu, benda tajam, pil, dan tidak mengizinkan mereka keluar rumah, karena mereka khawatir anak-anak akan bunuh diri," kata Anna Keistat dari Amnesti Internasional yang menghabiskan waktu enam hari di Nauru pada Agustus.
Amnesti mengatakan 58 tahanan, atau 15 persen tahanan di Nauru yang diajak bicara untuk laporannya, sudah mencoba melakukan bunuh diri atau berpikir untuk melukai diri. Juru bicara menteri imigrasi Australia tidak memberikan tanggapan atas laporan tesebut.
Banyak dari 410 pria, wanita dan anak-anak yang ditahan di Nauru hingga 31 Agustus menurut data Australia telah dipastikan sebagai pengungsi dan berada di tahanan itu selama beberapa tahun. Meski sudah mendapat status pengungsi, mereka masih ditahan dengan akomodasi buruk dan akses terbatas untuk perawatan kesehatan, kata Amnesti dan menambahkan anak-anak yang merupakan sepersepuluh dari jumlah tahanan, menderita secara tidak proporsional.
Amnesti bergabung dengan kelompok-kelompok HAM lain yang mengkritik kebijakan imigrasi Australia. Laporan Amnesti tersebut muncul hanya beberapa pekan setelah PBB mengatakan Nauru gagal melindungi anak-anak.
Kecaman internasional terhadap Australia terpicu setelah lebih dari 2.000 insiden, termasuk pelecehan seksual, serangan dan upaya melukai diri, dilaporkan dalam tempo dua tahun di pusat tahanan Australia di Nauru, lebih dari separohnya melibatkan anak-anak, demikian dilaporkan Guardian.
Australia berupaya mengatur penempatan kembali para pencari suaka, kata Perdana Menteri Malcolm Turnbull. Namun karena Australia tidak bisa meyakinkan pihak ketiga untuk menampung mereka, masa depan para tahanan itu masih jadi pertanyaan.
Pusat tahanan Australia di Papua Nugini menghadapi tekanan lebih besar, setelah Mahkamah Agung PNG pada April memerintahkan penutupannya.
Sebanyak 823 pria, yang ditahan di Pulau Manus, diberi kebebasan terbatas namun masih ditahan.