REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Sebuah panel di Jepang telah mulai membuka diskusi terkait kemungkinan pelepasan Kaisar Akihito. Pada Juli lalu, Kaisar Akihito menyampaikan kesulitannya dalam memenuhi tugas di usianya yang sudah menginjak angka 82 tahun.
Selama ini, belum pernah ada dalam hukum Jepang yang mengatur tentang turun tahta seorang kaisar, sehingga diperlukan adanya penyesuaian hukum terkait hal ini. Hasil dari diskusi panel ini harus diserahkan kepada Perdana Menteri Shinzo Abe pada Mei 2017.
Dilansir BBC, Senin (17/10), Akihito telah duduk ditakhta Kaisar Jepang menggantikan ayahnya, Hirohito, sejak 1989 silam. Namun, belakangan ia menjalani operasi jantung dan sempat dirawat karena menderita kanker prostat. Kondisi ini mempersulitnya dalam menjalankan tugas kekaisaran.
Jika Akihito turun takhta, ia akan tercatat sebagai Kaisar pertama Jepang yang turu takhta sejak 1817. Dalam hukum Jepang saat ini disebutkan seorang Kaisar dapat turun takhta hanya jika meninggal dunia.
Meskipun tidak memiliki kekuatan politik, dalam hukum Jepang seorang kaisar mengemban beberapa tugas resmi. Sebagian besar masyarakat mendukung permintaan Kaisar Akihito untuk mundur dari takhta, namun tidak demikian dengan kalangan konservatif Jepang.
Perdana Menteri Abe menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan pembahasan mendalam terkait keinginan Kaisar Akihito ini. "Saya menghormati beratnya tanggung jawab yang dirasakan oleh Kaisar. Dan kita harus memikirkan apa yang bisa kita lakukan,” kata Abe. Sementara itu, panel akan membahas isu legislasi turun takhta dan perubahan tugas resmi kaisar.