REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Klub-klub Liga Primer Inggris dinilai telah gagal bertindak lekas untuk meningkatkan fasilitas terhadap kaum difabel di stadion kepunyaan mereka. Penilaian tersebut dilontarkan oleh Lord Holmes, Komisioner Disabilitas Komisi Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan, di hadapan anggota parlemen Inggris bidang budaya, media, dan olahraga.
Menurut Holmes, klub-klub Liga Primer Inggris kerap bersikap defensif menyikapi permasalahan ini. Hal ini berbeda dengan pendekatan olahraga lainnya yang lebih kolaboratif, terbuka, dan jujur.
"Belum ada budaya inklusif di dalam Liga Primer. Inklusi tidak hanya tentang kepatuhan dan pemenuhan terhadap persyaratan minimal dari sisi hukum," ujar Holmes seperti dikutip the Guardian, Selasa (18/10). Ia menunjukkan bahwa ada berlembar-lembar halaman persyaratan penyiaran di stadion dalam buku peraturan liga.
Akan tetapi, hanya ada sebaris syarat terkait akses kaum difabel. Peraih sembilan medali emas Paralimpiade ini pun menyindir klub-klub yang lebih cepat ketika diminta melakukan perbaikan untuk meng-upgrade fasilitas demi siaran TV HD.
"Liga Primer telah menjadi sesuatu yang luar biasa maka perlu ada perhatian terhadap detail siaran. Liga Primer adalah liga terbaik di dunia dan kami harus bangga atas hal ini," kata Holmes. "Tapi, semangat yang sama juga harus ada agar olahraga ini dapat diakses kaum difabel, menjadi inklusif bagi semua komunitas," lanjut dia.
Dalam pertemuan dengan anggota parlemen tersebut, juga hadir Direktur Eksekutif Liga Primer Bill Bush dan Asosiasi Pendukung Difabel dari klub Wrexham bernama Steve Gilbert. Saat memberi paparan, Bush menyebutkan bahwa klub-klub Liga Primer Inggris sepakat bertemu pada Agustus 2017.
Pertemuan dimaksudkan untuk mengetahui kemajuan perihal akses kaum difabel di stadion yang dibuat pada Agustus 2015. Rentang waktu yang dinilai Bush teramat ketat, meski sejumlah klub berjanji untuk memberikan akses kepada fan difabel sejak UU Kesetaraan berlaku 2010.
Klub-klub diminta menyediakan sejumlah aspek seperti akses pandangan yang mumpuni hingga kemudahan menuju pintu keluar bagi kaum difabel. Menurut Bush, manajemen Liga Primer telah membuat penilaian awal dan menemukan beberapa klub gagal memenuhi persyaratan yang dijanjikan.
Meski didesak anggota parlemen asal Wrexham Ian Lucas menyebutkan nama klub yang dimaksud, Bush menolak. Dia hanya memastikan bahwa penilaian akan diterbitkan pada Januari 2017.
Bush juga membantah bahwa klub-klub Liga Primer tidak memedulikan masalah ini. Minimnya kemajuan menunjukkan tak dapat dijadikan hipotesis.
Sebagai contoh, Watford, klub yang baru promosi musim ini, disebut Bush memiliki rencana konkret bagi kaum difabel. Namun, baru Agustus tahun depan, realisasinya tampak.
Klub lainnya, Bournemouth, memiliki tantangan tersendiri lantaran stadion Vitality bukan kepunyaan mereka. Pemilik stadion, pengembang properti Structadene belum memberikan izin bagi pengerjaan aspek-aspek yang diperlukan.
Sementara Liverpool sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan pembangunan yang dimaksud seiring pengembangan main stand Anfield. Namun terdapat kendala lantaran lingkungan perkotaan yang padat membuat pekerjaan ini sulit diselesaikan.
Apakah uang menjadi masalah? Bush mengatakan sejauh ini uang tidak pernah dijadikan alasan oleh klub-klub Liga Primer.
Ini tidak mengherankan. Sebab, penghasilan Liga Primer dari hak siar dalam tiga tahun ke depan saja menembus 8 miliar poundsterling.
Beberapa waktu silam, Daily Telegraph menemukan bahwa hanya tiga klub dari 20 peserta Liga Primer yang dapat memenuhi aksesibilitas bagi kaum difabel. Ketiga klub itu adalah Leicester City, Manchester City, dan Swansea City.
Saat ditanya apakah ada sanksi bagi klub jika tenggat Agustus tahun depan gagal dipenuhi klub, Bush mengatakan parlemen bisa mengenakan denda hingga 25 ribu poundsterling. Namun tidak jelas detail maupun mekanismenya.
Gilbert menambahkan, fans Wrexham yang duduk di kursi roda memperoleh perlakuan tak adil dari pihak klub. Mereka kerap kehujanan kala menyaksikan timnya bertanding.
Untuk itu, Gilbert menyebut para fan sepakat untuk bahu membahu menggelontorkan dana demi mendapat tempat yang lebih baik di stadion. Dananya diperoleh dari fan serta dana perbaikan stadion Liga Primer.
Sebagai penutup dari pertemuan itu, Holmes, pria tuna netra, menyampaikan asa kepada anggota parlemen. "Jika Anda bisa membangun parlemen yang mudah diakses kami, atau kampus Cambridge, maka saya pikir Anda bisa juga melakukannya di 20 stadion sepak bola," kata dia.