Kamis 20 Oct 2016 07:44 WIB

Menteri ESDM Diminta Tegas Desak Perusahaan Bangun Smelter

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Nur Aini
Smelter (Ilustrasi)
Smelter (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Setelah diangkat sebagai Menteri dan Wamen ESDM oleh Presiden Jokowi, Ignasius Jonan dan Archandra Tahar langsung dihadapkan pada tugas besar, khususnya untuk menyegerakan pembahasan Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral, Pertambangan, dan Batubara (Minerba) bersama dengan DPR. Menanggapi itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Tamsil Linrung menilai, semangat revisi inisiatif DPR tersebut akan tetap memertahankan hilirisasi tambang minerba. Karena itu, dia meminta Kementerian ESDM untuk tegas mendesak perusahaan tambang membangun smelter.

Semangat hilirisasi tambang sektor minerba tengah diupayakan melalui kewajiban pembangunan smelter bagi perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia. ''Dalam Ketentuan Peralihan UU Minerba Pasal 170 berbunyi, Pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 ayat satu selambat-lambatnya lima tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan,” kata Tamsil di Jakarta, Kamis (20/10).

Tamsil menyatakan, dari ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa perusahaan tambang wajib melakukan pemurnian dalam negeri. Dengan kata lain, pintu ekspor untuk mineral mentah (ore) dan konsentrat tambang tidak dibolehkan lagi.

Menurutnya, relaksasi kebijakan ekspor konsentrat untuk beberapa perusahaan tambang yang belum membangun smelter, bertentangan dengan UU Minerba, seperti kebijakan yang diberikan pada PT Freeport Indonesia yang telah habis izinnya per 8 Agustus 2016,  lalu terbit Izin baru sampai 11 Januari 2017. ''Hal ini tidak sehat untuk iklim investasi tambang di Indonesia,'' kata Politikus PKS tersebut.

Oleh karena itu, Tamsil menilai pemerintah seharusnya konsisten dan menghormati usaha beberapa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang telah memulai pembangunan smelternya. Hal itu ditambah, saat ini pemerintah kembali mewacanakan pembukaan ekspor untuk mineral mentah (ore).

Ia menegaskan, dalam Undang-Undang Dasar, telah jelas digariskan bahwa sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh negara, dan bahwa pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ''Oleh karena itu, DPR akan terus kawal, karena bagaimana pun juga dengan adanya kewajiban membangun smelter,'' ujarnya.

Menurut Tamsil, kewajiban pendirian smelter berdampak ganda (multiply effect) terhadap banyak hal, misalnya, pembukaan lapangan kerja baru, pengurangan angka pengangguran, pemerataan pertumbuhan ekonomi, khususnya di daerah industri tambang di bagian timur Indonesia yang kerap dianggap tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain. Para perusahaan tambang yang belum membangun smelter, beralasan karena tidak adanya kepastian perpanjangan kontrak perusahaan dan ketersediaan listrik. Namun, Tamsil menjelaskan, hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar yang kuat untuk selalu melakukan relaksasi kebijakan.

“Faktanya, sejumlah perusahaan tambang tetap melakukan pembangunan smelter di tengah kendala-kendala yang ada karena kesadaran penuh akan kewajiban ini,” ujar Tamsil.

Diketahui, menurut data dari Kementerian ESDM, hingga awal Juni 2016 telah terbangun 23 smelter dan menyusul empat smelter lainnya akan diselesaikan sampai akhir 2016.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement