REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. Mudzakir mengatakan, polri harus terus berjalan dalam memproses hukum kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Penundaan penanganan kasus harus dilihat konteksnya.
“Kalau menurut saya kalau misalnya kejahatan yang membuat republik ini hancur lebur disebabkan faktor SARA yang dilakukan Ahok. Apa iya ditunggu negara hancur lebur terlebih dahulu?,” kata Mudzakir kepada Republika.co.id, Selasa (25/10).
Kasus dugaan penistaan agama tersebut, menurutnya di Indonesia dianggap kejahatan serius. Alquran diduga dihina oleh Ahok yang tidak meyakini kitab suci umat Islam tersebut. Penundaan proses hukum bagi calon kepala daerah bisa dimaklumi, kata Mudzakir, jika kasusnya bukan kejahatan luar biasa. Untuk itu, Mudzakir menegaskan, polri harus melihat konteks kasus apakah akan menunda atau melanjutkan.
“Materi menghina agama itu saya dulu ikut membantu di pemerintah mempertahankan pasal penghinaan agama itu. Menghhina agama itu taruhannya kejahatan serius yang bisa dipertahankan sampai mati. Ini yang tidak ingin seperti itu,” ujarnya.
Ahok diduga melakukan pelecehan terhadap Alquran Surah Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu. Hal tersebut terkuak setelah pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu menjadi viral di media sosial. Sejumlah pihak pun melaporkan Ahok ke polisi atas dugaan penistaan agama.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri kini sudah memeriksa beberapa saksi terkait kasus tersebut. Meskipun Polri bisa saja menunda proses hukum Ahok atas dasar Peraturan Kapolri (Perkap) yang pernah dikeluarkan menjelang Pilkada serentak 2015.