Rabu 26 Oct 2016 13:49 WIB

Memahami Nazar

Rep: Ferry Kisihandi/ Red: Agung Sasongko
Nazar/ilustrasi
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Nazar/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terkadang, ada janji yang terucap demi mencapai tujuan. Janji ini diwujudkan setelah apa yang diinginkan dikabulkan Allah SWT. Ada orang yang berujar, ia akan berpuasa kalau saja ia lulus belajar dengan nilai-nilai memuaskan. Saat ia lulus sesuai dengan apa yang ia dambakan, ia pun ber puasa.

Mungkin juga, seseorang berjanji bersedekah seandainya perniagaan yang ia jalankan berkembang baik. Hal itu biasa disebut dengan nazar. Menurut Sayyid Sabiq, nazar adalah mewajibkan kepada diri sendiri sebuah ibadah yang pada dasarnya tidak wajib dengan menggunakan lafaz yang menunjukkan hal itu.

“Karena Allah telah menetapkan sesuatu pada diriku, aku wajib bersedekah sebesar ini,” demikian con toh lafaz yang diung kap kan Sa biq. Dalam bukunya, Fiqih Sun nah, ia me nye butkan na zar dinyata kan sah sepanjang dilaku kan oleh orang yang ba lig, ber akal, ser ta mampu mem i lih dalam artian ia tak ada paksaan ia men jalani nazar.

Syariat Islam mengatur semua hal yang berhubungan dengan nazar baik, dalam Alquran maupun sunah. Dalam al-Baqarah ayat 270 dinyatakan, apa saja yang Muslim nafkahkan dan nazarkan, Allah mengetahuinya. Surah al-Insan ayat 7 menjelaskan, “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.”

Rasulullah juga menyinggung mengenai nazar ini. Beliau mengingatkan, barang siapa yang bernazar untuk tetap taat kepada Allah, taatlah kepada-Nya. Namun, siapa yang bernazar berbuat maksiat, janganlah Muslim melaksanakannya. Soal hukum nazar, Imam Bu khari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Aisyah.

Dalam hadis ini dijelaskan, walaupun Islam telah mensyariatkan nazar, nazar hukumnya tidak disunahkan. Menurut dia, nazar diperbolehkan apabila bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Kitab ar-Raudhah an-Nadiyah, kata Sabiq, ber nazar dengan hal yang mubah di be narkan.

Sebab, nazar mubah dikelompokkan dalam kaidah umum perintah menepati sesuatu. Pandangan itu ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud. Di dalamnya diungkapkan, ada seorang perempuan berkata kepada Rasul bahwa ia telah bernazar, jika Rasul selamat dalam peperang an, ia akan memukul rebana guna menyambutnya.

Muhammad SAW menyampaikan jawabannya kepada perempuan itu agar memenuhi nazarnya. Sementara itu, Yusuf al-Qara dhawi mengatakan, dalam membic arakan soal nazar ini ada hal yang perlu diperhatikan. Menurut kebanyakan ulama, ujar dia, nazar hukumnya makruh walaupun apa yang dinazarkan berupa ibadah.

Contohnya, bernazar shalat, puasa, atau sedekah setelah apa yang diidamkan teraih. Al-Qaradhawi menyuguhkan hadis riwayat Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan lainnya dari Ibnu Umar. Hadis itu menyebutkan, Rasul melarang bernazar lalu mengatakan, nazar itu tidak dapat menolak sesuatu dan hanya keluar dari orang yang bakhil.

Hikmah tidak disukainya nazar karena dikhawatirkan sebagian manusia beriktikad bahwa nazar dapat menolak takdir. Juga berpotensi seseorang mengira bahwa nazar dapat memastikan keberhasilan apa yang diinginkannya atau Allah akan mengabulkan keinginannya karena nazarnya itu.

Al-Qaradhawi dalam Fatwa- Fatwa Kontemporer mengungkapkan, ada hal lain muncul sebagai dampak nazar. Saat seseorang bernazar, jika Allah memberinya anak atau perniagaan yang menguntungkan, ia akan bersedekah kepada orang miskin. “Dari sini, orang itu menggantungkan perbuatan itu pada tercapainya tujuan pribadinya.”

Jadi, niat mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan sedekah tidak ikhlas dan murni. Menurut dia, keadaan ini terjadi pada orang bakhil yang hanya akan mengeluarkan hartanya ketika memperoleh ganti yang lebih besar. Meski ada pertimbangan semacam itu, ulama sepakat bernazar itu makruh dan memenuhi nazar adalah wajib.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam nazar, jelas al-Qara dhawi, isi nazar yang benar merupakan pendekatan diri kepada Allah, seperti menjalankan amal saleh. Mengutip hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud, ia menuturkan, tak ada nazar kecuali pada sesuatu yang dapat diperoleh ridha Allah.

Sebagian imam berpandangan tak bisa disebut nazar apabila bukan berupa amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Contohnya, bernazar melakukan sesuatu perbuatan mubah. Ia memaparkan, ulama berbeda pendapat tentang nazar mubah, seperti melakukan kesenangan. Muncul pertanyaan apakah nazar itu meng ikat atau tidak.

Berdasarkan pendapat yang kuat, nazar bersifat mengikat adalah nazar dengan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah. Sebut saja, bernazar akan melakukan shalat, puasa, atau bentuk ibadah lainnya.Dalam persoalan nazar mubah, Mazhab Hanbali menerangkan bahwa orang yang bernazar itu mesti menjalankan salah satu dari dua alternatif.

Pertama, orang tersebut melaksanakan apa yang dinazarkan, seperti akan menggelar pesta saat apa yang ia idamkan tergapai, ia boleh memenuhinya. Sedangkan alternatif kedua adalah membayar kafarat sumpah. Dalam al- Maidah ayat 89 dijelaskan mengenai hal tersebut.

Yaitu, memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa diberikan kepada keluarganya atau memberikan pakaian kepada mereka. Atau juga memerdekakan seorang budak. Bila orang tersebut tak sanggup memenuhinya, kafaratnya puasa selama tiga hari.

Sayyid Sabiq menambahkan, seseorang yang bernazar, tetapi melanggar atau membatalkannya, ia wajib membayar kafarat. Ia mengutip keterangan Rasul yang ada dalam riwayat Uqbah bin Amir. Kafarat nazar jika tak disebutkan secara perinci, maka digolongkan sebagai kafarat sumpah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement