REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: TGH Habib Ziadi
Seorang arif bercerita, “Aku melewati sebuah gunung, lalu bertemu dengan orang tua yang buta. Kedua tangan dan kakinya terpotong. Dia pun terkena penyakit lumpuh. Ulat-ulat bertebaran dari tubuhnya. Lalat-lalat hinggap menggerogoti kulitnya yang mulai terkelupas. Dalam kondisi seperti itu, orang tua itu masih sempat berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kesehatan dari sesuatu yang menimpa kebanyakan makhluk-Nya, dan yang telah memberiku keutamaan yang lebih dari kebanyakan makhluk-Nya.”
Orang arif itu melanjutkan kisahnya, “Aku pun mendekati orang tua itu lalu bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, kesehatan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu? Demi Allah sungguh aku tidak mendapati pada dirimu melainkan engkau tengah diuji oleh beragam musibah.”
Orang tua itu mengangkat kepalanya seraya berkata, “Menjauhlah dariku wahai orang yang buruk! Bukankah Allah telah menyisakan untukku lisan yang selalu mengesakan-Nya. Lisan yang setiap waktu berzikir kepada-Nya dan menyisakan untukku hati yang mengenal Allah.”
Subhanallah, kisah di atas seolah menampar diri kita betapa orang tua itu masih kuat memelihara syukurnya. Kondisi mengenaskan penuh derita tersebut tidak bisa mengalahkan rasa syukur kepada Tuhannya. Dia masih bisa mensyukuri keberadaan lisannya. Lisan yang masih diberi kesempatan memuja dan memuji Allah.
Sebuah nikmat yang teramat besar baginya. Di saat banyak orang yang tidak mampu memuji Sang Penciptanya meski jiwa raganya sehat prima. Orang tua di atas sudah pasti bersabar. Buktinya dia sanggup memikul rasa perih dan derita tubuhnya. Dia pun mengajarkan betapa syukur itu harus selalu ada pada diri kita.
Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur. Dalam kamus orang tua itu bersyukur tidak hanya ketika meraih nikmat. Namun, saat menerima musibah apapun, jangan luput bersyukur kepada Allah SWT.
Orang tua di atas memang sangat langka. Rasulullah SAW bersabda, “Salah seorang dari mereka lebih senang menerima ujian dan cobaan daripada seseorang dari kamu senang menerima pemberian.“ (HR Abu Ya’la).
Hamba yang beriman selalu menilai banyak hikmah di balik skenario Allah. Allah Maha Mengatur. Allah pemilik kehidupan kita. Allah pemilik jiwa raga kita. Dia lebih Tahu dan maha Mengetahui yang terbaik bagi kita, dibanding diri kita sendiri. “... Dan Allah maha Mengetahu dan kalian tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 216).
Tidak banyak orang yang diberi nikmat oleh Allah memelihara rasa syukurnya terutama di tengah derita. Banyak yang lalai saat meraih rezeki berlimpah, obsesinya tercapai, dan status sosialnya naik. Lebih jarang lagi adalah orang yang berhasil mengawinkan antara sabar dan syukur meski dihimpit kesempitan hidup.
Ulama berkata, “Orang kaya bersyukur itu baik sekali. Namun orang susah yang ahli syukur itu jauh lebih baik lagi.” Bagaimana cara memelihara syukur di tengah prahara hidup? Berfikir positif bahwa Allah Maha Mengatur dan Mengetahui yang terbaik.
Selalu ada hikmah di balik musibah. Pasti ada jalan keluar selepas masa sulit. “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, hal itu lebih baik bagimu. Bisa jadi kamu menyukai sesuatu, hal itu buruk bagimu.” (QS al-Baqarah: 216).