Ahad 30 Oct 2016 14:00 WIB

Peneliti: Saatnya Islam Cintai Damai Hindari Radikalisme

Red: Agus Yulianto
Seorang relawan menyebarkan selebaran tentang pesan damai Islam. (Ilustrasi)
Foto: North Jersey
Seorang relawan menyebarkan selebaran tentang pesan damai Islam. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peneliti dari UGM mengemukakan, bahwa saatnya kini bagi umat Islam yang cinta damai, untuk secara serius mencegah dan mengatasi radikalisme agama. "Jadi inilah saatnya bagi umat Islam yang cinta damai, untuk secara serius mencegah dan mengatasi kecenderungan radikalisme Islam," kata peneliti senior pusat studi kependudukan dan kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhadjir Darwin, Ahad (30/10).

Menurut dia, Islam moderat adalah satu-satunya pilihan untuk dijaga dan dikembangkan, jika masyarakat Indonesia masih menginginkan negara yang berkarakter multikultural seperti Indonesia ini tetap terjaga. "Kita masih ingin negara yang berkarakter multikultural seperti Indonesia ini tetap terjaga," ujarnya.

Muhadjir mengatakan, saat ini, ada kecenderungan baru yaitu redupnya politik Islam moderat, dan maraknya politik Islam radikal di panggung politik Indonesia, seperti yang disinyalir oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Sirodj.

Dia melihat, NU seperti menjadi pemain tunggal dalam menahan derasnya arus radikalisasi. Sebab, tidak ada organisasi Islam lain yang seberani NU dalam mempertahankan politik Islam Moderat, dan mengkritisi politik Islam radikal yang sekarang sedang marak dengan bahasa yang tegas dan lugas.

"Muhammadiyah sudah tidak lagi. Dan ini sangat disayangkan. Jika radikalisasi Islam dibiarkan, benar seperti yang dikhawatirkan oleh Said Aqil Sirodj bahwa Indonesia akan terjerembab ke dalam situasi seperti di Balkan atau Timur Tengah. Poso dan Maluku telah mengalaminya".

"Tetapi skalanya masih daerah, belum nasional. Tapi jika itu dibiarkan terjadi di Jakarta, dampaknya akan sangat besar bagi perpolitikan nasional," ungkap Muhadjir.

Dia mengatakan, bahwa Indonesia tidak boleh, dan jangan dibiarkan tercabik-cabik ke dalam konflik agama yang keras, yang dapat memecah belah anak-anak bangsa. "Kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia terlalu mahal untuk dikorbankan," tutup Guru Besar Fisipol UGM itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement