REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengapa dorongan ingin menggunjing dan membicarakan keburukan sesama muncul dalam kehidupan sehari-hari secara kolegial? Sering kali bahkan dilakukan secara sengaja.Tak memandang umur, jabatan, dan kedudukan seseorang. Ghibah seolah dianggap lumrah.
Orang kaya berghibah, mereka yang dhuafa juga demikian. Kehormatan sang objek begitu renyahnya dilumat. Tak peduli dampak dan efek domino yang diakibatkan dari aktivitas tersebut. Jawaban atas pertanyaan mengapa inilah yang hendak diungkap Imam Zainuddin al-Juba'i al-Amili as-Syami (w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah 'An Ahkam al-Ghibah.
Dalam mukadimahnya, tokoh yang pernah mengembara mencari ilmu ke berbagai negara itu menekankan sebab utama mengapa ghibah bisa terjadi. Ghibah terasa seolah indah dan benar, kata al-Juba'i.
Para pelaku ghibah kerap tak menyadari, apa yang ia lakukan merupakan bagian dari ghibah. Ia seolah membenarkan tidakannya itu. Menguliti aib sesama dengan ringan tanpa beban. Ghibah, dalam banyak kesempatan, adalah perkara yang samar. Mereka para peghibah beranggapan perbincangan ihwal kekurangan objek ghibah adalah hal biasa dan lumrah.
Maka, dalam konteks inilah, al-Juba'i membeberkan faktor apa sajakah yang bisa memicu ghibah. Tak hanya terhenti di situ, kitab ini juga memaparkan pembahasan yang tak kalah penting, yaitu langkah-langkah antisipatif menghindari ghibah.