REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Forum Pesantren Kota Tasikmalaya Helmi Yusuf menegaskan pesantren tak pernah mengajarkan ideologi terorisme maupun aksi pengeboman. Hal itu menyusul stigma pesantren sebagai produsen pelaku teror.
Ia menyatakan bahwa aksi pengeboman gereja di Samarinda, Kalimantan Timur malah mencederai kerukuman umat beragama di Indonesia. Pasalnya, pelaku malah menggunakan atribut Islam ketika melancarkan aksinya. Padahal, ia meyakini pelaku teror seperti itu malah meninggal dalam keadaan buruk, bukan mati syahid sebagaimana dipercaya pelaku teror.
"Pesantren tidak ajarkan kekerasan dan pemboman, adapun ada peristiwa pemboman itu cuma oknum. Dasarnya tindakan seperti itu tidak ada," katanya saat ditemui usai Apel Kebhinekaan Cinta Damai di Balai Kota, Selasa (15/11).
Sebagai Kota Santri, ia ingin Tasik menjadi simbol perdamaian dan kerukunan antar umat beragama. Sebab, ia mengatakan para santri sebenarnya memperoleh pelajaran bahwa Islam merupakan agama rahmat bagi semesta. Sehingga dengan asumsi demikian, umat Islam seharusnya berlaku baik bagi semua makhluk, termasuk umat beragama lain.
"Tasik itu kota santri, kota religi, kota cinta damai. Islam itu rahmatan lil alamin diajarkan ke santri berupa hubungan baik antar manusia. Cinta damai itu akhlakul karimah jadi Tasikmalaya mayoritas Muslim tapi tetap ada namanya saling menghargai antarsesama," ujarnya.
Sebelumnya, ledakan bom molotov terjadi di depan Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Samarina, Kaltim, Ahad (13/11). Pelaku menjalankan aksinya dengan mengenakan kaos bertuliskan 'Jihad Way of Life (Jihad itu jalan kehidupan). Dalam aksi itu, empat orang anak-anak terluka dan satu korban meninggal dunia.