REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) DKI Jakarta berharap masyarakat tidak lagi melakukan pengadangan kampanye pasangan calon urut nomor 2, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot Saiful Hidayat. Gangguan dan penolakan kampanye dapat berakibat pada tindak pidana pemilu dengan ancaman maksimal enam bulan penjara.
Kordinator Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta Muhammad Jufri berharap keputusan Bawaslu DKI menyerahkan kasus pengadangan Djarot menjadi peringatan bagi masyarakat. "Masyarakat tidak lagi melakukan gangguan dan penolakan kampanye," kata di Kantor Bawaslu DKI, Jakarta Utara, Jumat (18/11).
Bawaslu DKI Jakarta menyatakan kasus pengadangan dan penolakan Djarot di Kelurahan Kembangan Utara, Jakarta Barat, sebagai tindak pidana pemilu. Atas keputusan tersebut, Bawaslu DKI menyerahkan ke kepolisian untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan dan penuntutan.
"Sekarang status NS masih terlapor. Kepolisian yang akan menentukan statusnya menjadi tersangka," kata Juhri.
Penyidik Subdit Keamanan Negara Ditreskrimum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Akhmad Fadillah mengatakan NS dapat dijerat Pasal 187 ayat 4 UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur. Ancaman hukuman aturan tersebut yaitu satu hingga enam bulan.
Kepolisian sudah mendengar keterangan NS. "Dia mengaku sangat menyesal. Tidak mengetahui bahwa tindakannya bisa berdampak pada tindak pidana. Banyak yang kurang paham UU," ujar Fadillah. Terkait gangguan dan penolakan kampanye, Bawaslu DKI menerima empat laporan dan Panwaslu Jakarta Barat menerima satu laporan. "Kejadiannya mungkin banyak tapi yang dilaporkan hanya empat ke Bawaslu," ujar Juhri.
Dari lima laporan tersebut, Juhri menerangkan, hanya satu laporan yang dilimpahkan ke kepolisian. "Laporan lainnya tidak memenuhi syarat formul dan materil," kata dia.