REPUBLIKA.CO.ID, HAVANA -- Sejak invasi Teluk Babi, hingga kunjungan bersejarah Presiden AS Barack Obama ke Havana, Kuba telah dikenal selama beberapa generasi sebagai negara yang menentang AS. Kapanpun AS mengancam Kuba, Fidel Castro akan segera melawan.
Kematian sang "El Comandante" pada Sabtu (26/11), membuat warga Kuba ketakutan. Mereka khawatir Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden AS akan kembali menutup pintu perdagangan dan pariwisata di antara kedua negara, yang sedikit demi sedikit semakin terbuka dalam dua tahun terakhir.
Trump memiliki sikap yang berbeda dari Presiden Obama. Obama berhasil mencapai kesepakatan dua tahun lalu dengan adik Fidel Castro, Presiden Raul Castro, untuk mengakhiri permusuhan AS dan Kuba yang telah berlangsung selama setengah abad. Di akhir kampanye presidennya, Trump memberikan pandangan negatif terhadap warga Cuba-Amerika di Florida. Ia bahkan berjanji akan menutup kedutaan AS untuk Kuba di Havana yang baru dibuka beberapa bulan lalu.
Trump mengatakan, pemulihan hubungan diplomatik dengan Kuba merupakan hal yang baik. Namun, menurutnya Presiden Obama harus membuat kesepakatan yang lebih menguntungkan. Setelah memenangkan kursi kepresidenan, sulit mengetahui pendekatan apa yang akan dilakukan Trump terhadap Kuba.
Presiden Obama menyebut Castro yang meninggal dunia pada usia 90 tahun itu sebagai seorang "tokoh tunggal." Sementara Trump menyebut revolusioner komunis itu sebagai "diktator brutal."
Castro memulai karirnya sebagai seorang revolusioner dengan menggulingkan Pemerintahan Kuba yang didukung AS. Ia menolak invasi kontra-revolusi terhadap Teluk Babi pada 1961 yang didukung CIA dan juga melawan Presiden AS John F Kennedy dalam krisis rudal Kuba setahun setelahnya.
Selama 49 tahun menjabat sebagai pemimpin Kuba, ia berselisih dengan sepuluh Presiden AS. Setelah resmi pensiun pada 2008, Castro tidak pernah berhenti memperingatkan Kuba bahwa pemerintah AS tidak bisa dipercaya.
Adiknya, Raul Castro, tidak memberikan banyak ruang bagi Pemerintahan Presiden Obama untuk meliberalisasi sistem politik satu partai di Kuba. Namun, warga Kuba merasa kharisma mendiang Fidel Castro diperlukan untuk melawan Trump.
"Dengan perginya 'El Comandante', saya sedikit takut mengenai apa yang akan terjadi dengan cara berpikir dan bertindak Trump. Dia (Trump) bisa mengatur kembali dan memblokir segala yang telah disepakati Obama. Obama telah melakukan banyak hal untuk membuat AS lebih dekat dengan Kuba," kata Yaneisi Lara (36 tahun), pedagang bunga di Havana.
Presiden Obama memang tidak berhasil meyakinkan Kongres untuk mencabut embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba, tetapi ia secara pribadi menentang sanksi dan menggunakan aksi eksekutif untuk memungkinkan lebih banyak kontak dan perdagangan dengan Kuba. AS juga telah membuka penerbangan komersial pertama ke Kuba setelah setengah abad.
Trump bisa saja dengan mudah meninjau kembali upaya-upaya Obama itu. Bahkan advokat terkemuka, Mauricio Claver-Carone, yang menentang pencabutan embargo ekonomi terhadap Kuba, kini berada di dalam Tim Transisi Trump. "Trump kebalikan dari Obama," ujar Pablo Fernandez Martinez (39 tahun), seorang sopir taksi di Havana.
Tanpa memberikan keterangan jelas, Trump memberikan komentar terhadap rakyat Kuba pada Sabtu (26/11). Ia mengatakan, setelah dilantik pada 20 Januari mendatang, ia akan melakukan apapun yang ia bisa untuk meningkatkan kemakmuran rakyat Kuba setelah kematian Castro.
H