REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor utama buah dunia. Namun menurut Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Thohir kualitas buah Indonesia masih belum bisa bersaing di pasar internasional.
Lalat buah menjadi salah satu penyebab buruknya kualitas Indonesia yang ditakuti negara-negara pengimpor untuk memasukkan buah Indonesia ke negaranya. Indonesia sendiri diakuinya masih belum bisa mengatasi hama tersebut, ditambah masih minimnya teknologi terapan yang dapat digunakan petani buah.
Winarno mengatakan, komoditi buah yang akan diekspor harus melalui tahapan x-ray untuk membunuh penyakit yang ada termasuk akibat lalat buah. "Tapi, kita alat itu belum punya," ujar dia.
Teknologi terapan untuk menjaga tampilan buah juga masih belum banyak digunakan petani Indonesia. Menurutnya, pada musim hujan seperti saat ini, buah Indonesia seperti mangga memiliki warna kulit yang tidak merata. Sebaliknya, kulit buah berada dalam tampilan baik pada saat kemarau.
Sedangkan, buah impor mampu mempertahankan tampilan baiknya hingga ke tangan konsumen. "Teknologinya ngggak tahu harus disemprot apa biar tetap mulus. Memang kita masih lemah dari sisi itu," kata dia.
Peran pemerintah sendiri tampaknya selama ini masih sebatas pembinaan dan bimbingan dari Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian. "Itu tidak banyak dan beberapa komoditi buah tertentu. Banyak petani yang belum tersentuh," katanya kepada Republika, Senin (28/11).
Ia menjelaskan, banyaknya buah impor yang memenuhi pasar lokal Indonesia dikarenakan adanya efisesinsi subsidi angkut dari pemerintah setempat seperti Thailand. Ia melanjutkan, negara Gajah Putih tersebut memiliki Thai Airways yang mendapatkan kuota tertentu untuk mengirim buah-buahan ke negara tujuan seperti Indonesia. "Sehingga di kita banyak buah impor," katanya.
Selain itu, petani buah di negara lain mayoritas merupakan perkebunan, sementara di Indonesia jumlah perkebunan buah masih dalam jumlah sedikit. Hal tersebut menyebabkan harga yang lebih mahal, ditambah sulitnya akses mendapatkan kredit dari pihak penyalur yang berdampak lambatnya pertumbuhan usaha pertanian buah di Indonesia.
Menurutnya, akses kredit tidak mudah diterima para petani sebab, sektor pertanian merupakan high risk yang membuat penyalur kredit sangat berhati-hati.