REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kawasan Bandung Utara (KBU) semakin marak pembangunan yang menyebabkan potensi kerusakan semakin meluas. Alih fungsi lahan dinilai semakin tidak terkendali.
Hal ini disampaikan Kepala Bidang Tata Ruang dan Kawasan Dinas Pemukiman dan Perumahan (Diskimrum) Provinsi Jawa Barat Bobby Subroto. Bobby menilai pengawasan pemerintah daerah terhadap pembangunan di KBU sangat minim.
Menurutnya, pemerintah kabupaten/kota yang sebagian wilayahnya masuk KBU tidak maksimal dalam mengawasi kawasan konservasi itu. Sehingga pembangunan yang merusak lingkungan marak terjadi. "Tidak pernah dilakukan pengawasan yang jelas dari pemerintah kota ataupun kabupaten, jadinya selalu berkembang-berkembang," kata Bobby di Bandung, Senin (5/12).
Bobby menyebutkan pembangunan di KBU seringkali berubah dari perizinan awal akibat pengawasan yang tidak maksimal. Padahal, pemkot dan pemkab merupakan ujung tombak dalam memantau dan mengendalikan alih fungsi lahan di masing-masing wilayah.
Perizinan yang semula diberikan untuk satu bangunan tertentu, oleh pemiliknya terus dikembangkan menjadi beberapa bangunan yang tidak teratur."Tadinya hanya apa, tiba-tiba berkembang jadi rumah makan, nanti ada objek wisata," ujarnya.
Bobby menyebutkan ada Peraturan Daerah Provinsi Jabar Nomor 2 Tahun 2016 yang bisa digunakan sebagai acuan oleh pemerintah kabupaten/kota dalam menata KBU. Namun, hingga kini belum terlaksana dengan baik lantaran belum ada pemahaman yang sama di setiap pemerintah tersebut.
"Bertahun-tahun juga ya percuma punya aturan bagus. Kita sadar kalau orang mengatakan macan ompong, karena tidak pernah ada melakukan tindakan yang clear di lapangan," tuturnya.
Bobby menambahkan, sebaran pembangunan di KBU pun tidak seimbang karena hanya terpusat di beberapa lokasi. Dari luas 38.543 hektare KBU yang terbagi ke dalam empat kabupaten/kota dengan pembangunan hanya terpusat di wilayah yang berada di Kota Bandung dan Cimahi.
"Dari total wilayah KBU di Kota Bandung seluas 3.128 hektare dan Cimahi 1.446 hektare, yang sudah terbangun sudah lebih dari 90 persen sehingga sudah seharusnya dihentikan," kata dia.
Sedangkan luas KBU di Kabupaten Bandung (1.446 hektare) dan Bandung Barat (24.820 hektare) masih memungkinkan karena baru belasan persen yang sudah terbangun. Sehingga, jika masih ada yang tertarik membangun di KBU, pihaknya berharap pembangunan dilakukan di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat.
Menindaklanjuti kepihatinan tersebut, ia menyebutkan Pemprov Jabar terus mengupayakan pelestarian KBU. Bersama kabupaten/kota, telah disepakati terbentuknya Satuan manunggal satu atap (Samsat) KBU yang terdiri dari semua unsur termasuk aparat penegak hukum seperti Kepolisian, TNI, dan Kejaksaan.
Keberadaan Samsat KBU dikatakannya sebagai upaya untuk menata pembangunan di KBU dengan baik sehingga tidak menghilangkan fungsi utamanya sebagai kawasan konservasi. Dengan koordinasi berbagai pihak diharapkan komunikasi antar wilayah dapat dibenahi. "Pemberi izin dan pengawas kawasan harus jadi satu kesatuan, dan untuk mendukung ke situ itu harus sering berkomunikasi," ujarnya.
Selain itu, tambahnya, Samsat KBU juga dapat membantu mereduksi hal-hal yang mengakibatkan lemahnya pengawasan selama ini. Sehingga antar kota kabupaten tidak lagi saling lempar tanggung jawab tapi menyeluruh semua yang bertanggungjawab.