REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Rais Aam Syuriah PBNU, KH Ma'ruf Amin menegaskan bahwa organisasi yang dipimpinnya akan menyiapkan antisipasi "lempar jumrah" pasca-aksi 212 pada 2 Desember 2016. Aksi 212 untuk menuntut tersangka penistaan Alquran, Basuki Tjahaja Purnama ditahan itu juga diistilahkan 'wukuf'.
"Kita memang tidak mau terburu-buru dalam menentukan sikap, seperti orang yang azan duluan sebelum waktu shalat tiba," katanya dalam Halaqah dan Silaturrahim Syuriah PBNU dengan Ulama Pesantren dan Syuriah NU se-Jatim di Surabaya, Rabu (7/12).
Dalam acara yang dihadiri 100-an jajaran syuriah NU dan ulama pesantren se-Jatim itu, ulama yang juga Ketua Umum MUI Pusat itu menjelaskan, sikap pasca-aksi 1410, 411, dan 212 justru lebih penting. Karena ada rumor "lempar jumrah" yang mengancam keutuhan bangsa dan negara itu.
"NU harus turun untuk melakukan antisipasi "lempar jumrah" itu, karena yang terancam adalah bangsa dan negara, tapi akan kita rumuskan agar jangan sampai terjadi," katanya.
Dalam acara yang dipandu Katib Aam PBNU KH Yahya Staquf dan juga dihadiri Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj itu, Wakil Rais Aam Syuriah PBNU KH Miftachul Akhyar menyampaikan sikap PBNU dalam kasus penistaan Alquran justru lebih keras dari MUI. "Kalau MUI menilai tersangka Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu menistakan Alquran dan ulama, maka PBNU justru menilai ada penistaan Alquran, ulama, dan umat Islam," katanya dalam acara yang juga dihadiri Ketua PBNU H Saifullah Yusuf (Wagub Jatim).
Selain itu, katanya, tim Syuriah PBNU yang dipimpinnya juga sudah menjatuhkan sanksi administrasi kepada jajaran PBNU yang memiliki sikap berbeda dari syuriah. Namun sanksi diberikan bertahap, seperti relokasi dari syuriah ke tanfidziah atau dari syuriah ke a'wan.
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj menegaskan, PBNU belum menentukan sikap dan antisipasi pasca-aksi 212 itu. Namun PBNU akan berada di belakang konstitusi. "Kita sudah punya pengalaman bagaimana konflik horizontal pasca-penurunan Gus Dur dari kursi kepresidenan, karena itu kita akan berada di belakang konstitusi yang mengatur masa jabatan presiden itu memiliki batasan lima tahun," katanya.
Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup itu, sejumlah ulama pesantren se-Jatim meminta PBNU untuk melepaskan diri dari keterlibatan dalam Yayasan Peduli Pesantren Indonesia (YPPI), karena masyarakat NU di tingkat akar rumput justru menginginkan kemandirian ekonomi. Selain itu, jajaran syuriah NU se-Jatim juga meminta PBNU untuk mengupayakan tampilnya NU dalam mendorong perbaikan bangsa dan negara melalui "Kembali Pada UUD 1945".
"Saya sependapat, kalau NU kembali ke Khittah 1926, maka Indonesia harus kembali ke Khittah 1945," kata KH Ma'ruf Amin.