REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Para pengungsi Rohingya di Bangladesh menyambut pengakuan resmi oleh Amerika Serikat bahwa rezim militer Myanmar melakukan genosida terhadap minoritas Muslim. Mereka pun mengucapkan terima kasih atas deklarasi genosida tersebut.
"Sudah 60 tahun, mulai tahun 1962, pemerintah Myanmar menyiksa kami dan banyak komunitas lain termasuk Rohingya. Saya pikir jalan untuk mengambil tindakan oleh komunitas internasional terhadap Myanmar telah terbuka karena deklarasi tersebut," kata Sala Uddin, pengungsi berusia 60 tahun di kamp di Bangladesh, dilansir VOA News, Rabu (23/3).
Pengungsi lainnya, Abdul Gafur, menuturkan bangsa Rohingya akan selalu mengingat deklarasi AS tentang genosida Rohingya. "Pertemuan dilarang di kamp-kamp karena pandemi. Itulah sebabnya orang-orang Rohingya tidak dapat mengikuti program apa pun untuk mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada AS," tuturnya.
Aktivis hak asasi manusia mengharapkan langkah AS untuk meningkatkan upaya berkelanjutan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku genosida dan kejahatan serius lainnya dan memberikan keadilan dan dukungan bagi para korban.
"Saya pikir kita perlu melihat apa yang akan terjadi setelah pernyataan itu. Hanya dengan mengatakan bahwa genosida telah dilakukan di Myanmar terhadap Rohingya tidak cukup baik," kata Direktur Pusat Studi Genosida di Universitas Dhaka di Bangladesh, Imtiaz Ahmed.
Khairul Islam, pengungsi Rohingya di Bangladesh, menyampaikan, Myanmar harus diadili karena genosida. Harus ada sanksi ekonomi untuk mengendalikan Myanmar. Jika tidak, Myanmar tidak akan mendengarkan siapa pun. Mereka tidak pernah melakukannya di masa lalu.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengumumkan keputusan Washington untuk mengakui kekejaman terhadap Muslim Rohingya di tangan rezim militer di Myanmar, Senin (21/3). "Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa anggota militer Myanmar melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya," kata Blinken dalam pidatonya di Museum Peringatan Holocaust AS di Washington.
Min Aung Hlaing, yang merupakan kepala militer pada 2016 dan 2017 dan memimpin pemerintahan sejak kudeta Februari 2021, disebutkan dalam pidato Blinken.