REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai harus meningkatkan pengawasan produk pangan yang didatangkan dari luar negeri. Sebab selama ini banyak produk pangan yang masuk ke Indonesia dalam bentuk ilegal. Tidak adanya izin resmi membuat keamanan produk tersebut belum tersertifikasi.
Kepala Badan Karantina Kementerian Pertanian Banun Harpini mengatakan, selama 2016 pihaknya telah melakukan tindakan karantina sebanyak 5.068 kali. Jumlah ini terbagi dalam tindakan karantina berupa penahanan 2.374 kali, penolakan 1.214 kali, dan pemusnahan terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) serta organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) sebanyak 1.480 kali.
"Jumlah ini naik dibandingkan dengan tindakan karantina tahun lalu (2015) sebesar 56,86 persen," kata Banun dalam penandatangan perpajangan nota kesepahaman pengawasan barang di kantor Kementerian Perdagangan, Selasa (20/11).
Tingginya jumlah tersebut, kata Banun, memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia cukup konsumtif dalam mengkonsumsi barang. Hal tersebut membuat banyak pelaku usaha gelap dari luar negeri menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar yang menggiurkan.
Di sisi lain, tingkat kepatuhan para pelaku usaha tersebut untuk memenuhi persyaratan kesehatan masih minim. Mereka memilih untuk memasukan produk melalui jalur-jalur kecil yang dianggap kurang mendapatka pengawasan.
Menurut Banun, terdapat dua cara pelaku usaha dalam memasukan produk pangan ilegal. Pertama, produk ini memang dimasukan secara langsung tanpa melalui izin apapun dari Pemerintah Indonesia. Kedua, produk ini masuk dengan diikutsertakan dalam produk yang telah mendapatkan izin masuk dari Pemerintah. "Ketika kita tahu perusahaan ini melakukan kecurangan kita langsung tindak dan lakukan pendalaman atas perusahaan tersebut," ujar Banun.
Tingginya impor pangan ilegal yang meresahkan masyarakat dan produsen dalam negeri direspon cepat oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Menteri Perdagangan Enggartasiasto Lukita langsung mengumpulkan sejumlah Kementerian dan Lembaga untuk bekerja sama dalam menghalau produk-produk ilegal yang terus berdatangan ke dalam negeri.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, kerja sama dalam penindakan barang yang dilarang, diawasi dan diatur tata niaganya di tempat pemasukan dan pengeluaran sebenarnya telah dilakukan pada 2013. Namun, kerja sama ini nampaknya belum terlalu optimal. Masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L) terlihat masih bekerja sendiri dengan protokol yang dimiliki. "Kalau nggak ada kesepakatan bersama maka akan sulit. Makanya kita buat perjanjian ini supaya ada payung hukumnya, sehingga ada langkah bersama," ujar Enggar.
Enggar menyebut bahwa Pemerintah tidak mungkin menutup pelabuhan-pelabuhan kecil yang selama ini menjadi pintu masuk bagi produk-produk ilegal. Artinya kinerja dari pengawas dalam hal ini Kementerian dan Lembaga terkait seperti Bea Cukai untuk menjaga agar pintu masuk ini tetap aman dari pelaku-pelaku curang yang ingin memasukan barangnya ke Indonesia.
Meningkatnya penyelundupan produk ilegal juga bisa dikarenakan masih belum jelasnya perekonomian secara global. Banyak negara yang masih protektif dalam menjaga agar produk dalam negerinya tidak banyak disaingi oleh produk luar. Namun, karena hal ini, banyak produk yang tidak terserap di negeri tersebut kemudian 'terpaksa' dijual ke luar negeri dengan berbagai cara, agar produksi mereka tetap bisa terjual secara maksimal.