REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan faktor tingginya keuntungan masih menjadi penyebab maraknya pengiriman TKI dan TKW ke negara-negara konflik. Keuntungan dari pengiriman TKI ke kawasan itu diduga mencapai dua kali lipat.
Menurut Anis, pemerintah sampai saat ini belum bisa mengambil tindakan tegas atas pola pengiriman yang dilakukan sejumlah oknum tersebut. Sebab, temuan-temuan TKI yang menjadi korban di negara konflik sudah lama ada.
"Contohnya saat konflik di Lebanon pada 2008 ada temuan TKI Indonesia. Begitu juga yang ditemukan di Irak, bahkan di Sudan juga ada temuan. Ini menunjukkan pemerintah seolah pura-pura tidak tahu," ujar Anis ketika dikonfirmasi, Kamis (22/12).
Banyaknya temuan hingga saat ini, lanjut dia, tidak lepas dari tingginya keuntungan yang didapat dari pengiriman ke daerah konflik. Dirinya memberikan gambaran melalui perbandingan keuntungan yang didapat dari pengiriman TKI ke Qatar.
"Qatar bukan negara konflik. Keuntungan mengirim satu orang TKI ke sana mencapai Rp 135 juta. Keuntungan dari mengirim TKI ke daerah konflik bisa jadi dua kali lipatnya," tutur Anis.
Hal ini dikarenakan kebutuhan tenaga kerja di negara konflik tetap ada. Akses ke negara-negara tersebut juga sulit sehingga dibutuhkan biaya pengganti yang besar. Terkait modus yang digunakan oknum, Anis masih menyebut para TKI tidak dikirim secara langsung. Pengiriman TKI tidak dilakukan secara melewati negara-negara lain hingga berakhir ke negara konflik.