REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama perayaan, sebanyak 3.000 hingga 10 ribu anak yang berasal dari keluarga miskin juga ikut dikhitan oleh ahli bedah yang bekerja di istana.
Anak-anak dari keluarga miskin tersebut juga mendapatkan berbagai hadiah, seperti pakaian yang indah, koin emas, dan mainan. Biasanya, mereka dikhitan terlebih dahulu sebelum giliran para pangeran.
(Baca: Tradisi Khitan di Era Ustmaniyah)
Pada saat itu, para pejabat tinggi kekaisaran mengawal para pangeran menuju ruang khitan yang telah dipersiapkan. Hanya ibu dan saudara-saudara perempuan pangeran, yang diizinkan untuk memasuki ruang khitan dan menyaksikan pengkhitanan.
Ahli bedah yang mengkhitan para pangeran, biasanya mendapatkan imbalan berupa hadiah berharga, yaitu koin-koin emas yang jumlahnya begitu banyak. Tak mengherankan jika pada saat itu, mereka hidup berkecukupan.
Setelah proses khitan, perayaan pun dimulai. Perayaan ini tak hanya dikhususkan bagi para petinggi. Namun, rakyat biasa juga diizinkan bergabung dalam perayaan tersebut. Saat pesta digelar, sejumlah tenda besar didirikan.
Lantainya dilapisi karpet-karpet yang indah dan berwarna-warni, sebagai tempat untuk menampung mereka yang ikut dalam perayaan tersebut. Perayaan ini memang benar-benar terbuka sehingga rakyat jelata dan para pejabat bisa ikut dalam perayaan.
Pihak istana juga menyajikan beragam hidangan untuk para tamu yang mengikuti perayaan. Sejumlah acara juga disuguhkan dalam perayaan khitan tersebut, di antaranya kegiatan olahraga, kembang api, drama, dan menyanyi.
Bahkan, selama perayaan, setiap individu yang hadir bisa memamerkan keterampilan yang dimiliki. Mereka juga melakukan parade di hadapan sultan, pejabat tinggi, dan masyarakat yang hadir dalam perayaan.
Tak hanya itu, tentara dan prajurit kavaleri juga turut memainkan permainan perang. Sementara itu, kembang api dinyalakan untuk meramaikan suasana. Para penyair dan seniman juga ikut mempertunjukkan kemampuannya. Sehingga, semua orang yang datang terhibur.