Kamis 29 Dec 2016 16:51 WIB

Beli Saham, Bolehkah?

Saham
Saham

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Menanamkan modal untuk menuai untung semakin beragam. Seseorang yang mempunyai dana berlebih bisa menyimpannya di bank syariah untuk meraih bagi hasil. Cara lainnya adalah dengan membeli saham. Terhampar pilihan saham yang bisa dibeli dan memungkinkan menghadirkan keuntungan.

Bagi seorang Muslim, tentu tak sembarang saham begitu saja dibeli. Dia perlu menelisik bagaimana kondisi perusahaan yang akan dibeli sahamnya. Dalam artian apakah berprospek cerah atau sebaliknya. Selain itu, penting pula diteliti apakah perusahaan itu berjalan sesuai syariat atau tidak.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, mengatakan, berinvestasi dengan membeli saham itu diperbolehkan. Asalkan, saham yang dibeli itu bukan dari perusahaan minuman keras atau yang menghasilkan produk haram. Juga saham-saham bank konvesional yang memberlakukan riba dalam transaksinya.

Ia menyebutkan, kalau saham itu dimiliki perusahaan properti, misalnya,  itu tak menjadi masalah. Apalagi biasanya, ada daftar saham yang memungkinkan bisa dibeli para investor Muslim. ‘’Pada intinya, membeli saham tak menjadi soal namun ada beberapa batasan yang mesti diperhatikan investor Muslim,’’ katanya di Jakarta, Senin (21/3).

Saham itu bukan milik perusahaan yang membuat produk membahayan atau bersifat aniaya, bersifat riba, dan manipulasi. Jika semua itu tak ada maka seorang Muslim bisa membeli saham tersebut. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, menjelaskan dari tinjauan syara saham terbagi menjadi tiga bagian.

Pertama, saham perusahaan-perusahaan yang konsisten terhadap Islam seperti bank dan asuransi Islam. Pada saham seperti ini, Islam membolehkan Muslim untuk menanamkan modalnya serta memperjualbelikan saham yang dimilikinya. Dengan syarat, shama itu sudah berbetuk usaha yang nyata dan menghasilkan.

Kedua, saham perusahan yang dasar aktivitasnya diharamkan. Mislanya, perusahaan alkohol dan perusahaan yang memperjualbelikan babi. Berdasarkan kesapakatan para ulama, ujar dia, Muslim tak diperbolehkan ikut andil dalam saham serta melakukan transaksi dengan perusahaan semacam itu.

Contoh lainnya adalah bank-bank konvensional, perusahaan diskotik, serta perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan keharaman. Sedangkan jenis ketiga, saham yang dasar aktivitasnya halal, seperti perusahaan mobil, elektronik, perdagangan, dan pertanian. Tapi terkadang ada unsur keharaman yang masuk dalam perusahaan itu.

Hal tersebut terjadi melalui transaksi yang terjadi yang berdasarkan riba, baik mengambil riba atau mengambilnya. Menurut Al-Qaradhawi, ulama modern berselisih pendapat soal boleh tidaknya bertransaksi dan memiliki saham di sana. Di antara mereka ada yang mengharamkan karena dalam transaksinya tercampur riba.

Mereka berargumentasi dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang mencela pemakan riba, pemberinya, penulisnya, dan para saksinya. Namun sebagian lainnya mengizinkan Muslim membeli saham perusahaan tersebut dengan alasan adanya kebutuhan. Meski demikian, mereka menetapkan sejumlah persyaratan.

Di antaranya, persentase antara kekayaan dan utang perusahaan tak boleh lebih dari 50 persen. Jika persentase utangnya lebih banyak maka tak boleh mengedarkan sahamnya, persentase antara piutang perusahaan dan utang perusahaan yang berbunga tak lebih dari 30 persen, dan persentase bunga utang maksimal tak lebih dari lima atau sepuluh persen.

Di samping itu, adanya pengawasan terhadap perusahaan bersangkutan secara teliti dan membersihkannya dari unsur riba di dalamnya. Atau, jelas Al-Qaradhawi, boleh juga seseorang yang ikut berinvestasi melalui saham di dalamnya membersihkan sendiri dividen yang ia peroleh dari riba.

Menurut Al-Qaradhawi, itu adalah pandangan sejumlah ulama terkini yang mendalami transaksi keuangan. Mereka telah melakukan serangkaian penelitian dan riset.  Mereka menyampaikan pendapatnya dengan pertimbangan memudahkan banyak orang. Ia juga menjawab pertanyaan boleh tidaknya membeli saham perusahaan di bidang internet.

Ia menjelaskan, hukum dasar aktivitas perusahaan itu adalah halal. Jika perusahaan konsisten dengan prinsip-prinsip yang telah disebutkan, kata Al-Qaradhawi,  maka boleh melakukan transaksi dengan perusahaan tersebut karena adanya kebutuhan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement