REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain penulisan surat, umat Islam juga mengembangkan kemampuan berpidato dan bersyair. Seorang ahli pidato atau khatib sering diasosiasikan dengan ahli bercerita atau ahli riwayat kejadian pada masa lampau.
Pada masa awal Islam, terdapat istilah yang digunakan untuk ceramah atau pidato, yaitu khotbah yang berarti ceramah atau pidato yang disampaikan oleh seorang penceramah dari atas mimbar masjid pada setiap Jumat.
Istilah lainnya adalah wa'zh yang berarti ceramah yang disampaikan oleh penceramah. Penceramah sendiri disebut wa'izh karena berada di depan majelis dalam institusi akademis ataupun tempat-tempat lain. Buku kumpulan khotbah yang pertama ditulis oleh Ibnu Nubata al-Fariqi. Ia meninggal pada 985 Masehi.
Khotbah dalam karya itu lalu ditambah dan disempurnakan oleh putranya, Abu Thahir Muhammad, dan cucunya, Abu al-Faraj. Karya tersebut kemudian direvisi kembali pada 1223 dan dicetak dalam beberapa edisi.
Pada masa itu, Ibnu Nubata dikenal sebagai seorang ahli pidato di istana seorang amir dari Bani Hamdan, yaitu Sayf al-Dawlah. Dia hidup sezaman dengan penyair istana yang terkenal, yaitu al-Mutanabbi. Ia pun pernah belajar pada Mutannabi.
Pidato Nubata terdiri atas beberapa kategori, yaitu pidato agama atau disebut khotbah agama. Ini berisi puji-pujian kepada Allah SWT dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pun, tentang nasihat agar selalu bertakwa kepada Allah SWT dan mengingatkan pada hukum agama.
Selain itu, dalam pidato agama, biasanya juga ada doa untuk memohon karunia dan bantuan dari Allah SWT, yang kemudian ditutup dengan membaca ayat Alquran. Jenis pidato lain yang dilakukan Nubata adalah pidato politik.
Suatu saat, Nubata berpidato untuk mendorong umat Islam mendukung Syaf al-Dawlah, seorang amir pada masanya, dalam berperang melawan musuh Islam di Byzantium. Pidato Nubata itu menjadi rujukan para ahli sejarah untuk mengetahui berbagai peristiwa pada masa itu.