REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Penduduk Palestina tak habis pikir. Penghancuran 11 rumah warga Palestina oleh otoritas Israel menjadi penyebabnya.
Warga Palestina yang berada di wilayah okupasi Israel ini menggelar mogok massal, Rabu (11/1). "Kami mengecam Perdana Menteri Benjamin Netanyahu secara pribadi untuk kejahatan ini," kata Kepala High Follow-up Committee, Mohammad Baraka dilansir Aljazirah.
Komite merupakan perwakilan warga Palestina di Israel. Baraka menambahkan kejahatan itu merefleksikan mental rasial Netanyahu, selain demi mengalihkan perhatian dari skandal korupsinya sendiri. Dalam pernyataaan, komite menekankan pentingnya komitmen persatuan untuk melawan serangan Israel.
Penduduk Palestina kehilangan tempat tinggal mereka. Rumah-rumah yang dihancurkan berada di kota Qalansawe, Israel bagian tengah pada Selasa. Israel mengatakan rumah itu dibangun tanpa izin. Namun menurut penduduk, pengajuan izin pembangunan mereka selalu ditolak oleh Israel sehingga rumah mereka masih saja berstatus ilegal.
Aktivis dan profesor arsitektur Yosef Jabareen mengatakan setengah juta warga Palestina terancam tidak memiliki tempat tinggal karena masalah ini. "Sebanyak 500 ribu orang tinggal di 100 ribu rumah di Israel dan Yerusalem timur, yang terancam dihancurkan," kata Jabareen pada Aljazirah.
Sekitar 56 ribu rumah berada di wilayah segitiga Israel, Negev dan Galilee. Sebanyak 44 ribunya berada di Yerusalem timur.
Dalam dua dekade terakhir, diperkirakan 5.000 rumah Palestina di Israel sudah dihancurkan. Menurutnya, ada rencana jelas untuk menghentikan prospek kota Palestina untuk berkembang, baik secara ekonomi maupun populasi.
Penduduk Palestina hanya memiliki 2,3 persen wilayah secara hukum dari seluruh wilayah Israel. Ini membuat populasi warga Palestina sangat padat di wilayah-wilayah itu.
Menurut data pusat legal Arab Minority Rights in Israel, tidak ada kota atau wilayah baru untuk Palestina sejak pembentukan negara Israel pada 1948. Sebaliknya, Israel bisa mengembangkan 600 wilayah Yahudi yang masih terus bertambah.
Aksi dilakukan di tempat-tempat publik, termasuk sekolah di seluruh desa Palestina dan Israel. Seorang aktivis Palestina di Israel, Nadim Nashif mengatakan aksi ini lebih bertujuan simbolis daripada efektif.
"Kami melakukan aksi, namun ini tidak mempengaruhi negara. Kami perlu melakukan sesuatu yang lebih agar mereka merespons kami, seperti menghentikan lalu lintas atau membuat aksi protes yang lebih besar," kata Nashif.