Rabu 18 Jan 2017 16:36 WIB

Mahfud MD: Presidential Treshold Boleh Ada, Boleh tidak di Pemilu

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Dewan Penasihat MMD Initiative Mahfud MD berbicara dalam peringatan Haul Abdurahman Wahid di Jakarta, Rabu (11\1) malam.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Ketua Dewan Penasihat MMD Initiative Mahfud MD berbicara dalam peringatan Haul Abdurahman Wahid di Jakarta, Rabu (11\1) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan, tidak ada batasan apakah presidential treshold (PT) perlu diberlakukan atau tidak dalam Pemilu 2019. 

Mahfud mengatakan, sebab dalam pasal 6A ayat 2 UUD 1945, hanya menyatakan bahwa pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Hal tersebut juga tertuang dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, yang hanya menyatakan bahwa pileg dan Pilpres 2019 dilakukan secara serentak.

''Di dalam putusannya itu, MK hanya memutus bahwa pileg dan Pilpres 2019 harus dilaksanakan secara serentak tanpa menentukan ada atau tidak ada ambang suara (treshold) dukungan kursi di DPR untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden,'' ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/1).

Menurut dia, jika dilihat dari sejarah pembentukan UUD 1945, hasil perubahan sebenarnya pengajuan pasangan capres dan cawapres oleh parpol tidak menghendaki adanya ambang suara. Hal tersebut sampai-sampai dilakukannya simulasi dengan beberapa kotak suara yang dilakukan melalui Pemilu yang bersamaan, yakni kotak suara capres dan cawapres, kotak suara DPR, kotak suara DPD, kotak suara DPRD, sampai ke kotak suara kepala daerah.

''Ini menunjukkan bahwa tidak ada keharusan treshold dalam pilpres apalagi di dalam pasal 6A UUD 1945 ketentuan treshlod sama sekali tidak disinggung,'' ujarnya.

Namun, kata dia, karena di dalam UU 1945 ditentukan juga bahwa mengenai tata cara dan persyaratan pilpres diatur dengan UU, maka bisa diartikan juga bahwa pembentuk UU bisa menentukan adanya treshold tersebut, sesuai dengan delegasi kewenangan yang dimilikinya dari UUD.

Artinya, kata Mahfud, masalah perlu atau tidaknya treshold ini, diserahkan sepenuhnya kepada lembaga legislatif untuk menetapkannya, setelah mempertimbangkan secara matang dan mendengar pandangan-pandangan dari masyarakat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat 258)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement