REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Angka kejadian kasus Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus atau MRSA semakin tinggi. Hal itu diungkap oleh Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kuntaman.
Kuntaman mengungkapkan prevalensi kejadian infeksi MRSA di berbagai rumah sakit di Indonesia terus meningkat. Menurut data, pertumbuhan MRSA di tahun 2001 tercatat sekitar 0,05 persen. Saat ini, perkembangan tersebut diperkirakan naik hingga 8 persen.
Kenaikan ini juga terjadi di RSUD dr Soetomo. Sebagai rumah sakit rujukan terbesar di Jawa Timur, RSUD dr Soetomo setiap saat menerima pasien rujukan dari berbagai wilayah. Artinya, semakin banyak pasien yang ditangani, maka semakin tinggi pula potensi penumpukan kuman maupun bakteri di rumah sakit.
Untuk itu, Kuntaman menghimbau, agar rumah sakit besar yang menjadi pusat rujukan berupaya menekan laju peningkatan infeksi MRSA. Tak hanya di rumah sakit besar, rumah sakit tingkat dua juga diimbau melakukan upaya pengendalian. "Jika tidak dilakukan, maka rumah sakit pusat rujukan hanya seperti mesin cuci saja. Setelah pasien sembuh, masih menerima lagi pasien terinfeksi, begitu lagi dan seterusnya," kata Kuntaman melalui siaran pers, Rabu (18/1).
Ia menjelaskan, upaya penurunan angka infeksi MRSA dapat dilakukan melalui proyek eradikasi yang saat ini tengah diupayakan oleh Kuntaman beserta sejumlah pakar mikrobiologi lainnya. Caranya dengan pengendalian penggunaan antibiotik di tengah masyarakat.
Ia meyakini, kuncinya ada pada kebijakan pemakaian antibiotik. Karena menurutnya, hal tersebut sangat berkaitan dengan kuat tidaknya pengaruh infeksi MRSA. "Semakin tidak baik kebijakan antibiotik, maka semakin tinggi resistensi antibiotik," jelasnya.
Secara teori, tingginya infeksi bakteri disebabkan penggunaan antibiotik yang kurang bijak. Oleh sebab itu, masih dilakukan penelitian seputar penggunaan antibiotik oleh masyarakat Indonesia. "Selama penggunaannya rasional, tidak akan berdampak. Tapi jika konsumsi antibiotiknya sembarangan akan memicu resistensi antibiotik sehingga lebih rentan terinfeksi bakteri," ungkapnya.
Selain meningkatkan rasionalitas pemakaian antibiotik, Kuntaman juga menyarankan upaya peningkatan ketaatan terhadap standar higienitas, sanitasi, dan budaya cuci tangan di lingkungan rumah sakit. Melalui penelitiannya bersama sejumlah pakar mikrobiologi lainnya, Kuntaman juga sudah mematangkan sebuah konsep eradikasi melalui terapi pengobatan pasien yang terinfeksi MRSA. Bakteri MRSA menyebar dan bersembunyi di hidung, tenggorokan, dan permukaan kulit, maka konsep eradikasi menggunakan tiga konsep.
Jika pasien benar-benar terinfeksi MRSA, maka dalam periode tertentu, pasien diwajibkan mandi menggunakan cairan antiseptik. Kedua, mengoles salep pada bagian hidung. Kemudian untuk meruntuhkan sarang bakteri MRSA di tenggorokan, maka dilakukan upaya pemberian obat antibiotik. "Selama kondisi tubuh fit maka kemungkinan kecil terinfeksi. Lain dengan orang sakit sakit. Kuman mudah masuk, sehingga makin bertumpuk penyakit di dalam tubuh dan semakin sulit diobati," ucap Kuntaman.
Menurutnya, selama pemberian obat sesuai maka infeksi MRSA dapat disembuhkan. Hanya saja, metode pengobatan yang tepat dan efektif memerlukan dukungan tenaga mikrobiologi yang mumpuni dan fasilitas laboratorium mikrobiologi yang canggih.
Di sejumlah rumah sakit besar di Indonesia mayoritas sudah dilengkapi alat pemeriksaan yang canggih dan tenaga Mikrobiologi yang mumpuni. Namun, tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas tersebut. Sehingga terapi pengobatan yang digunakan bersifat empiris atau dugaan terdekat. Sementara rumah sakit besar yang memiliki SDM dan laboratorium Mikrobiologi yang baik akan melakukan terapi pengobatan infeksi MRSA secara pas dan bersifat definitif.
MRSA tengah menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Penyebaran MRSA berada di lingkungan rumah sakit, sehingga penyakit ini menjadi ancaman tersendiri bagi para pasien yang menjalani rawat inap. Bisa dikatakan, MRSA adalah super bakteri yang sulit ditaklukkan.
MRSA pertama kali ditemukan di Inggris pada 1961. MRSA merupakan jenis spesifik dari bakteri Staphylococcus Aureus yang tahan terhadap methiciline (jenis antibiotik). Namun karena obat MRSA masih terbatas, sehingga infeksi satu ini relatif sulit diobati. Dampaknya, dari tahun ke tahun, prevalensi infeksi MRSA semakin meningkat.