REPUBLIKA.CO.ID, Para pejabat dan petinggi di berbagai negara belakangan kerap mengeluarkan pendapat soal Donald Trump menjelang pelantikannya sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) akhir pekan ini. Tak sedikit yang berkomentar dengan cemas soal masa depan dunia di tangan miliuner yang kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial tersebut.
Pejabat-pejabat serta kepala negara Rusia dan Israel adalah bagian dari yang secara gencar mengeluarkan pernyataan bernada optimistis menyongsong dimulainya masa pemerintahan Trump. Rombongan pemuji itu kini mendapat satu lagi anggota dari Indonesia bernama Luhut Binsar Pandjaitan.
Menko bidang Kemaritiman dan ESDM tersebut secara terbuka menyatakan optimismenya terkait terpilihnya Donald Trump dalam tulisan yang ia kirimkan ke media Singapura the Straits Times dan dilansir pada Rabu (18/1). Tulisan itu jadi penting mengingat dekatnya Luhut dengan Presiden Joko Widodo.
Dalam tulisan tersebut, pada paragraf akhir Luhut sempat menyatakan bahwa optimismenya terhadap pemerintahan Trump adalah pendapat pribadi dia. Namun, atribusi penulis di artikel tersebut menyebutkan secara gamblang jabatan Luhut di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, yakni menteri koordinator bidang Kemaritiman. Menjadi pertanyaan apakah tulisan Luhut ini pendapat pribadinya atau sikap pemerintah Indonesia?
Dalam tulisan tersebut, Luhut menyampaikan bahwa terpilihnya Trump akan berdampak positif pada hubungan AS-Indonesia. Ia meyakini, Indonesia bisa melakukan bisnis dengan sikap pragmatis bersama AS pada masa kepemimpinan Donald Trump.
Hal tersebut ia simpulkan dari sikap Trump yang terkesan apolitis. "Presiden Trump adalah pragmatis yang cenderung mengadopsi pendekatan non-ideologis dan non-konfrontatif ke dunia politik yang beragam," tulis Luhut.
Luhut mengatakan latar belakang bisnis Trump sebagai konglomerat real estate memungkinkan dia untuk melakukan penawaran dengan negara-negara tanpa menilai sikap politik mereka. "Yang penting adalah apa yang mereka bawa ke meja," tulisnya.
Sikap ini, menurut Luhut, membedakan Trump dengan pendahulunya Barack Obama yang ia nilai mencoba mendikte dan membentuk dunia sesuai kepentingan ideologis AS. Luhut menilai, keinginan Obama membawa demokrasi di Ukraina turut mendorong Rusia mencaplok Krimea. Selain itu, kebijakan agresif pemerintahan Obama di Laut Cina Selatan juga mendorong Cina mengabaikan hukum internasional.
Sementara Trump, tulis Luhut, bisa memahami bahwa masing-masing negara punya bentuk demokrasi yang berbeda-beda. "Dibanding pendahulunya dari Partai Demokrat, Bapak Trump yang berasal dari Partai Republik lebih mungkin memaklumi perjalanan unik demokrasi Indonesia, termasuk peran yang dimainkan angkatan bersenjata Indonesia." tulis Luhut.
Ia juga menyinggung bahwa Trump memiliki kemiripan dengan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, keduanya adalah produk dari kedewasaan ekspektasi populer terhadap pemimpin yang mampu membuat perubahan berarti. "Tak penting bahwa pemimpin sejenis itu disebut 'populis', kata yang digunakan para agen liberal untuk mereka yang memiliki keberanian menembus gerbang kekuasaan yang dijaga ketat."
Luhut juga meyakini sepenuhnya janji Trump menumpas Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurutnya, semangat tersebut bakal menciptakan dunia yang lebih damai. Luhut sama sekali tak menyinggung janji Trump pada Desember 2015 yang melarang imigran Muslim masuk ke Amerika. Pernyataan tersebut sempat membuat marah masyarakat Indonesia.
Pada akhir tulisan, Luhut menekankan bahwa rencana Trump membangkitkan kembali kejayaan Amerika Serikat tak perlu bertubrukan dengan kebangkitan negara-negara Asia seperti Cina dan India. Luhut menyatakan, Indonesia tak akan memilih sisi dari kekuatan-kekuatan tersebut. Yang diinginkan Indonesia, kata Luhut, hanya dihormati kebijakan luar negerinya dan kedaulatannya.
Menurut Mustafa Izzuddin, peneliti politik Asia Tenggara dari Institut ISEAS-Yusof Ishak di Singapura, yang coba dilakukan Luhut adalah mencoba agar Indonesia dilihat secara positif oleh Trump. "Trump adalah orang yang sensitif. Jika Anda mengatakan sesuatu yang buruk terhadapnya, dia akan membuat hidup Anda sulit," kata dia saat dihubungi Republika, kemarin.
Komentar Luhut, menurut Izzudin, juga sejalan dengan diplomasi ekonomi politik luar negeri Presiden Joko Widodo. Yakni, berusaha menarik investasi dan kerja sama sebesar-besarnya untuk keuntungan Indonesia.
Dengan tujuan itu, kata dia, Luhut mencoba mengecilkan pernyataan-pernyataan Trump yang menyakitkan buat Muslim selama kampanye dengan harapan komentar-komentar itu tak mewujud dalam bentuk kebijakan. "Artinya, sikap anti-Muslim Trump dikesampingkan untuk kepentingan ekonomi. Terlebih Amerika adalah pasar ekspor yang penting untuk Indonesia," kata Izzuddin.
Ia menilai, Luhut juga sedang mencoba merayu Trump untuk berbisnis dengan Indonesia. Luhut terkesan hendak menyampaikan bahwa Indonesia bukan seperti negara-negara mayoritas Muslim lainnya di Timur Tengah. Luhut mencoba mengesankan, Indonesia lebih plural dan demokratis.
Izzuddin juga berpandangan bahwa pujian Luhut untuk Trump bisa jadi bermasalah bagi komunitas Muslim di Tanah Air. "Tulisan Luhut sedianya realistis dan berpandangan jauh ke depan. Tapi, komentarnya pasti akan membelah pendapat karena sikap bigot dan anti-Muslim Trump dan pandangannya terhadap minoritas di AS," kata dia.
Pandangan Luhut soal Trump juga sedikit berbeda dengan menteri lainnya di pemerintahan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, misalnya, sedari awal sudah menyatakan perlu kehati-hatian pemerintah untuk memonitor reaksi global setelah Donald Trump dilantik dan menjalankan kebijakan-kebijakan proteksionismenya.
Menurut Sri, ada tiga kebijakan Trump yang sedang diwanti-wanti oleh pasar global, yakni kebijakan fiskal dan belanja oleh pemerintah AS, kebijakan internasional untuk mencegah perusahaan besar AS melakukan relokasi sentra industri ke luar negeri, dan pemberian tarif pajak yang besar bagi produk impor dari luar AS. "Ini akan berikan pengaruh kepada ekonomi dunia. Ini akan berikan pengaruh signifikan," kata dia, Selasa (17/1)
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, Pemerintah Indonesia masih menunggu kebijakan yang akan dijalankan Trump untuk menentukan kebijakan hubungan diplomatik dengan negara Paman Sam itu. Menurut Retno, janji-janji kampanye yang selama ini disuarakan oleh Trump akan menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Khususnya sejauh mana janji tersebut akan direalisasikan dalam kebijakan AS. "Kita lihat apakah sepenuhnya diimplementasikan dalam kebijkan atau di sana-sini akan ada penyesuaian. Dari situlah kami akan menentukan sikap," kata dia.
Sedangkan imam Masjid Al-Hikmah, New York, Shamsi Ali menyayangkan pujian Luhut untuk Trump. Menurutnya, Trump bisa menjadi duri di dalam daging saat membangun hubungan antara Amerika dan dunia Islam termasuk Indonesia.
Ia menegaskan, Indonesia sebagai negara Muslim dan demokrasi terbesar memiliki tanggung jawab besar untuk mengantisipasi kebijakan-kebijakan negatif Trump terhadap Muslim di AS maupun di negara lain. Menurutnya, politik luar negeri yang tidak memihak bukan berarti politik luar negeri diam.
"Pemerintah harus menyuarakan suara konstituen sebagai umat Islam terbesar dunia. Jangan sampai ada pihak-pihak yang mengail ikan di air keruh," ujarnya. Menurutnya, sanjungan kepada Trump dengan alasan ia akan memberi manfaat bagi bangsa Indonesia bisa jadi pengkhianatan bagi masyarakat Indonesia secara luas. n
Tulisan ini dimuat di halaman 1 Koran Republika edisi Jumat (20/1).