REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Skandal korupsi di Komite Olimpiade Indonesia (KOI) bisa berujung ke pemecatan. KOI mengaku, tak bisa mendesak pengunduran diri dua pejabat tinggi di otoritas olahraga tersebut yang saat ini masih berstatus tersangka. Namun, jika status hukum meningkat menjadi terdakwa, siapapun diharuskan nonaktif.
Juru Bicara KOI Hellen Sarita de Lima menerangkan, Bendahara Umum Anjas Rivai dan Sekertaris Jenderal Dodi Iswandi, sampai hari ini masih aktif dalam struktur kepengurusan. Meski keduanya berstatus tersangka korupsi, namun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KOI, masih membolehkan keduanya menjabat.
“AD/ART di KOI, tidak mengatur itu (pengunduran diri saat berstatus tersangka)," kata Hellen saat menjawab pertanyaan Republika, dalam konfrensi pers akhir tahun di kantor KOI, Jakarta, Kamis (29/12). Namun, dia menambahkan, Komite Eksekutif (KE) KOI, akan menerima jika kedua tersangka tersebut, memilih mengundurkan diri.
"Itu hak mereka. Dan kita akan menerima. Tapi sampai sekarang dua itu, nggak ada (pengunduran diri)," sambung dia. Hellen menjelaskan, AD/ART KOI mengatur tentang penonaktifan dan pemecatan pengurus internal. Yaitu, jika yang bersangkutan berstatus hukum terdakwa. Hanya, itupun menurut dia tak mudah. Sebab penonaktifan tersebut, harus melewati proses rapat di KE KOI.
Polda Metro Jaya menetapkan dua tersangka di lingkaran KOI. Pertama yaitu, Dodi yang ditetapkan sebagai tersangka pada 5 Desember lalu. Pekan lalu, Anjas juga ditetapkan status serupa. Keduanya menjadi tersangka terkait penyimpangan dana sosialisasi Asian Games 2016 senilai Rp 61 miliar.
Dodi, selain menjadi Sekjen KOI, merupakan penanggung jawab sosialisai Asian Games di enam kota, yakni di Banten, Medan, Palembang dan Surabaya serta Balikpapan juga Makassar. Sedangkan Anjas, memegang akses ke brangkas KOI terkait gelontoran dana sosialisasi tersebut. Kasus itu, ditaksir merugikan negara senilai Rp 5 miliar.