Kamis 16 Feb 2017 21:45 WIB

Memaafkan, Apa Keutamaannya?

Saling memaafkan  (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Saling memaafkan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Hidup memang tak luput dari kesalahan. Terkadang kita berbuat salah kepada orang lain, begitu juga sebaliknya.  Meminta maaf biasanya lebih mudah ketimbang memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain kepada kita. Memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain kerap kali  menjadi hal yang sangat sulit, namun sesungguhnya merupakan akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah SAW.

Abu Bakar as-Shiddiq RA, sahabat terdekat Rasullah SAW, sempat bersumpah untuk tidak memaafkan kesalahan  Misthah bin Utsatsah dan tak lagi memberi nafkah kepadanya untuk selamanya, karena dianggap telah menuduh putri tercintanya, Aisyah RA, yang juga istri Rasulullan SAW, berzina.  Atas sikapnya yang tak mau memaafkan itu, maka turunlah firman Allah SWT dalam surah an-Nuur ayat 22.

''...Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.'' Setelah turun ayat itu, Abu Bakar kemudian berkata, ''Ya, demi Allah, sesungguhnya aku senang jika Allah mengampuniku.' Ia lalu kembali memberikan nafkah kepada Misthah seperti sebelumnya. Ia juga berkata, Demi Allah, aku tidak akan mencabut nafkah darinya.''

Sejarah juga mencatat betapa Rasulullah SAW berkali-kali mengalami penyiksaan, pengkhianatan, percobaan pembunuhan, dan serangkaian rangkaian rencana buruk dari kaum kafir.  Namun, Rasulullah SAW tidaklah dendam. Manusia berakhlak mulia itu justru memaafkan semua kesalahan yang dilakukan orang lain kepadanya.

Seperti diriwayatkan Anas RA,  suatu hari, seorang perempuan Yahudi mendatangi Rasulullah SAW, dengan membawakan daging kambing yang telah diberi racun. Nabi SAW pun memakan daging kambing itu. Akhirnya, terungkaplah bahwa daging kambing itu telah dibubuhi racun oleh wanita tersebut.

Rasulullah SAW pun bertanya, ''Mengapa engkau melakukan itu?'' Wanita Yahudi itu lalu berkata, ''Aku ingin membunuhmu.''  Nabi SAW bersabda, ''Allah tidak akan memberikan kemampuan kepadamu atasku.'' Lalu Anas RA berkata, ''Para sahabat berkata, 'biarkan kami membunuhnya!'  Rasulullah besabda, ''Jangan''. Anas menambahkan, 'Aku melihat sisa racun itu di langit-langit mulut Rasulullah SAW.'' (HR Bukhari dan Muslim).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement