REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai bahwa kebebasan demokrasi di Indonesia terlalu bebas. Menurut dia, praktik demokrasi yang kebablasan ini membuka peluang teradinya artikulasi politik yang ekstrem.
"Ini bisa menimbulkan adanya liberalisme, radikalisme, sektarianisme, dan terorisme, dan ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi pancasila," kata Jokowi dalam sambutannya pada pengukuhan Partai Hanura, di Bogor, Rabu (22/1).
Jokowi menjelaskan, perkembangan demokrasi yang sangat bebas saat ini terlihat pada sejumlah kejadian empat hingga lima bulan ke belakang. Aksi demokrasi ini memperlihatkan bahwa seluruh elemen bangsa harus memperbaiki kerukunan. Terutama dalam memahami konsep kebangsaan yang harus diketahui rakyat bahwa Indonesia adalah negara yang beragam dan majemuk.
Menurut dia, keanekaragaman di Indonesia menjadi jati diri, identitas, dan entitas bangsa. Keanekagaraman tersebut telah melebur menjadi bagian masyarakat dan menjadi simbol keharmonisan bersama.
Menurut Jokowi, politisasi SARA yang saat ini mendera banyak pihak merupakan bagian dari kurang pahamnya masyarakat mengenai keberagaman. Dampak nyata dari isu ini adalah berterabarannya fitnah, kebohongan, saling memaki, dan menghujat. "Kalau ini diteruskan bisa menjurus pada perpecahan bangsa kita," ujar Jokowi.
Meski demikian, mantan wali kota Solo ini yakin ketika ujian ini bisa dilampaui maka masyarakat Indonesia akan semakin dewasa, tahan uji, dan tidak lemah. Namun, jika masyarakat dan pemerintah hanya mengurusi permasalahan tersebut, pemerintah akan kehabisan tenaga untuk mengurusi persoalan lain yang lebih penting yakni menyejahterakan rakyat.
"Kuncinya dalam demokrasi kebablasan adalah penegakan hukum. Aparat hukum harus tegas, jangan ragu-ragu. Jangan sampai kita lupa terus menerus seperti empat hingga lima bulan ini, sehingga kita lupa masalah ekonomi kita," kata Jokowi.