Selasa 28 Feb 2017 03:47 WIB

Ini Alasan Dahlan Iskan Ajukan Praperadilan Kasus Mobil Listrik

Rep: Mabruroh/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi  Yusril Ihza Mahendra. (Republika /Mardiah)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Yusril Ihza Mahendra. (Republika /Mardiah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menyebutkan penetapan status tersangka kepada dirinya dalam kasus mobil listrik dianggap tidak sah. Hal ini diungkapkan melalui kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.  

"Kami menolak penetapan tersangka terhadap DI dan kami menganggap itu (status tersangka) tidak sah," ujar Yusril di Pengasilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Senin (27/2).

Alasan pertama, terang Yusril bahwa Dahlan Iskan bukanlah tokoh utama dalam kasus pengadaan mobil listrik untuk konferensi tingkat tinggi (KTT) Asia Pasific Economi Coorporation (APEC) di Nusa Dua Bali, 2013 silam. Dahlan, jelas Yusril ditetapkan sebagai tersangka dengan mengaitkan kasus tersebut dengan tersangka sebelumnya, yakni Dasep Ahmadi.

"Beliau dinyatakan sebagai tersangka itu dikaitkan dengan Pak Dasep Ahmadi, sudah diputus oleh MA (Mahkamah Agung) dalam kasus mobil listrik. Kami keberatan," kata Yusril.

 

Belum lagi sambungnya, salinan putusan Dasep Ahmadi tersebut juga belum diterima. Sehingga menurutnya, ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan tersangka selanjutnya.

"Jadi yang dua lembar surat dari MA itu berisi summary petikan, bukan salinan dari kasus itu," terangnya.

Alasan kedua, masih kata Yusril terkait perubahan hukum dari delik formil menjadi delik materil. Dasep Ahmadi kata dia didakwah tujuh tahun penjara dengan delik formil sehingga perbuatannya pun sudah dianggap adanya tindak pidana.

"Kalau materilkan harus sampai ada akibat, kalau formil kan perbuatanya yang dihukum. Nah belum ada putusan MK yang mengubah secara fundamental delik korupsi dari delik formil jadi delik materil, sekarang sudah jadi delik materil, karena itu dasar dakwaan bagi Pak Dasep tidak bisa dipakai untuk Pak DI," terangnya.

Alasan lainnya, tambah dia terkait surat edaran Mahkamah Agung pada 9 Desember 2016 lalu yang menyatakan institusi yang berwenang menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Menurutnya, BPKP tidak memiliki kewenangan untuk melakukan auditing untuk menghitung kerugian negara. "Dalam kasus Pak Dasep itu yang menyatakan adanya kerugian negara itu bukan BPK tetapi BPKP. BPK tidak pernah lakukan audit terhadap kasus mobil listrik ini," jelasnya.

Sehingga, tambah Yusril, jika dikaitkan dengan Putusan Mk tersebut menjadi delik materil maka tentu saja ini tidak sesuai. Karena delik materil, kerugian negara harus berdasarkan penghitungan dari BPK.

"Jadi hasil audit dikaitkan dengan putusan MK tadi bahwa dia merupakan delik materil, materil itu harus dihitung pasti ruginya berapa dan yang berwenang menghitung itu adalah BPK. (Jadi) apa yang sudah didakwakan kepada Pak Dasep karena hukum sudah berubah tidak bisa otomatis diberlakukan kepada Pak DI," ungkapnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement